Opini  

Membongkar Politisasi Identitas

Mengalihkan Perhatian dari Masalah Substansial dalam Masyarakat Akibat Dianutnya Sistem Kapitalisme-Neoliberal

Ilustrasi politik identitas.

Oleh: Moh. Cholid Baidaie*

Artikel ini memperkenalkan konsep politik identitas dan membedakannya dari politisasi identitas. Sejak Pilpres 2014 hingga Pilpres 2019, istilah “cebong”, “kampret”, “kadrun”, dan “buzzerp” kerap digunakan untuk menyebut para pendukung politikus yang berbeda pandangan. Penggunaan istilah tersebut menunjukkan adanya peningkatan penggunaan politik identitas dalam perebutan kekuasaan politik di Indonesia.

Politik identitas dapat dikaitkan dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan lokal yang diwakili oleh para elite dengan artikulasi masing-masing. Sayangnya, penggunaan politik identitas dalam kontestasi politik seringkali menjadi alat bagi penguasa untuk memanipulasi dan menggalang kekuasaan demi pemenuhan kepentingan ekonomi dan politiknya.

Namun, tidak semua politik identitas harus dianggap buruk. Politik identitas yang dijalankan secara etis dan bertanggung jawab dapat memperkuat pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman budaya dan identitas masyarakat. Namun, politisasi identitas, yaitu penggunaan identitas untuk tujuan politik yang sempit dan tidak bertanggung jawab, harus dihindari karena dapat merusak kebersamaan, toleransi, keragaman, serta kesatuan dan persatuan bangsa yang sangat multikultur.

Pembedaan antara politik identitas dan politisasi identitas penting untuk memastikan bahwa kita tidak mencampuradukkan antara teori dan praktik politik. Sebagai contoh, Jokowi menyuarakan kekhawatiran terhadap politisasi identitas dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus lalu. Oleh karena itu, pemahaman yang jelas tentang perbedaan antara politik identitas dan politisasi identitas dapat membantu kita untuk memahami dan menangani masalah politik yang kompleks dan sensitif di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan politik identitas?

Politik identitas adalah sebuah gerakan politik yang fokus pada penindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok minoritas tertentu, seperti kelompok etnis, agama, gender, atau seksualitas. Gerakan politik identitas berusaha untuk mengubah sistem politik, sosial, dan ekonomi yang tidak mengakui atau mengabaikan hak-hak dan kebutuhan kelompok minoritas tersebut.

Istilah “politik identitas” pertama kali digunakan oleh Combahee River Collective, sebuah kolektif feminis kulit hitam yang didirikan pada tahun 1974 di Boston, Amerika Serikat. Mereka menekankan bahwa politik identitas yang paling mendalam dan berpotensi paling radikal adalah yang berakar pada identitas kita sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.

Namun, dalam perkembangannya, konsep politik identitas mengalami moderasi dan kooptasi oleh elite ekonomi dan politik pendukung neoliberalisme. Walaupun tetap dimaknai sebagai pembelaan terhadap kaum minoritas identitas yang tertindas (perempuan, LGBT, agama/kepercayaan minoritas, masyarakat adat, dsb), karakter progresif revolusioner yang ditekankan oleh Combahee River Collective telah dibonsai. Politik identitas yang kita kenal saat ini lebih menekankan pada slogan “yang personal bersifat politik/the personal is political” untuk menggantikan politik berbasis kelas yang mereka anggap reduksionis dan deterministik.

Politik Identitas: Definisi dan Perkembangannya

Istilah politik identitas pertama kali digunakan oleh Combahee River Collective (CRC), sebuah kolektif radikal feminis kulit hitam yang didirikan pada tahun 1974 di Boston, Amerika Serikat. Mereka mengemukakan politik identitas sebagai pemfokusan pada penindasan atas diri kita, dan percaya bahwa politik yang paling mendalam dan berpotensi paling radikal adalah yang berakar pada identitas kita sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.

Ketika kita memahami konsep politik identitas yang diusung oleh CRC, kita harus menempatkannya dalam konteks ketertindasan perempuan kulit hitam AS yang terjadi selama berabad-abad. Perempuan kulit hitam yang minoritas kala itu merupakan subjek paling tertindas dalam struktur masyarakat Amerika. CRC memahami bahwa penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam AS tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi dan politik, sehingga mereka juga mengampanyekan solidaritas di semua kalangan masyarakat yang tertindas.

Dalam perkembangannya, konsep politik identitas mengalami moderasi dan kooptasi oleh elite ekonomi dan politik pendukung neoliberalisme, yang memaknainya sebagai pembelaan terhadap kaum minoritas identitas yang tertindas. Namun, karakter progresif revolusioner yang ditekankan CRC telah dibonsai dalam politik identitas yang kita kenal saat ini. Politik identitas saat ini lebih menekankan pada slogan “yang personal bersifat politik/the personal is political” untuk menggantikan politik berbasis kelas yang mereka anggap reduksionis dan deterministik.

Dalam kesimpulannya, politik identitas dalam konsep CRC adalah pembelaan terhadap kaum minoritas yang tertindas, dan karakter politik identitas tersebut berpihak pada kaum minoritas yang tertindas, tidak mengusung agenda sempit atau partikular dari kaum minoritas tertindas, dan anti-kapitalisme, imperialisme, dan patriarki—oleh karena itu berwatak progresif dan revolusioner. Namun, politik identitas saat ini seringkali kehilangan karakteristik progresif dan revolusioner tersebut.

Penutup

Dalam artikel ini, saya ingin memperbaiki beberapa kalimat agar lebih jelas dan mudah dipahami. Kalimat pertama dapat diperbaiki menjadi: “Melalui penjelasan singkat ini, saya berharap kita dapat berhenti memberi label ‘politik identitas’ pada tukang stigma seperti cebong, kampret, kadrun, atau buzzeRp yang seringkali membuat gaduh dalam aktivitas publik saat ini.”.

Selanjutnya, kalimat “Labelisasi politik identitas pada tukang stigma ini membuat mereka merasa terhormat sebagai pembela/pejuang identitas minoritas yang tertindas, padahal sebenarnya hal ini justru membelokkan perhatian dari masalah-masalah substansial yang nyata terjadi dalam masyarakat akibat sistem kapitalisme-neoliberal yang dianut” dapat diperbaiki menjadi: “Memberikan label ‘politik identitas’ pada tukang stigma ini membuat mereka merasa diakui sebagai pembela/pejuang identitas minoritas yang tertindas, padahal sebenarnya hal ini mengalihkan perhatian dari masalah-masalah substansial yang nyata terjadi dalam masyarakat akibat sistem kapitalisme-neoliberal yang dianut.”.

Selanjutnya, kalimat “Dengan membombardir wacana dan aktivitas publik melalui politisasi identitas, para tukang stigma ini secara sengaja melakukan pengaburan dan pembelokan perhatian massa rakyat dari masalah-masalah substansial yang nyata terjadi dalam masyarakat akibat dari dianutnya sistem kapitalisme-neoliberal” dapat diperbaiki menjadi: “Dengan mengedepankan politisasi identitas dalam wacana dan aktivitas publik, para tukang stigma ini secara sengaja mengalihkan perhatian massa rakyat dari masalah-masalah substansial yang nyata terjadi dalam masyarakat akibat dianutnya sistem kapitalisme-neoliberal.”

Terakhir, kalimat “Melalui politisasi identitas, para tukang stigma itu secara sengaja menggeser konflik vertikal antara rakyat pekerja (dengan identitas yang sangat beragam) versus kapitalis menjadi konflik horizontal di antara sesama rakyat pekerja yang ditindas oleh kapitalis” dapat diperbaiki menjadi: “Dengan menerapkan politisasi identitas, para tukang stigma ini secara sengaja mengubah konflik vertikal antara rakyat pekerja yang memiliki identitas yang beragam dan kapitalis menjadi konflik horizontal di antara sesama rakyat pekerja yang ditindas oleh kapitalis.”

*Penulis merupakan penulis lepas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *