Opini  

Seorang Teman dan Pikirannya yang belum Selesai

Oleh : A. Ansori (Pujangga Setengah Dewasa)

“Jika kamu tidak punya apa-apa untuk ditangisi, maka kamu tidak punya apa-apa untuk dirayakan.” Albert Camus.

Quotes dari Camus tersebut sengaja saya tulis untuk memulai tulisan ini. Kita bisa menertawakan dan menangisi dari hal-hal paling remeh sampai hal-hal yang bisa mengubah gerak pendulum sejarah.

Saya memilih menertawakan isi tulisan yang menyeret nama saya ke podium pribadinya. Ya, saya disuruh berkhutbah soal kesedihan yang sebenarnya tidak sepenuhnya masalah saya. Untuk menanggapinya, saya tulis cerita singkat saya dengan penulis yang judul tulisannya ” tentang seorang teman yang masih menunggu”

Saya masuk HmI mungkin hanya karena kebetulan ingin berbeda dengan teman kuliah. Tetapi, bertemu dengan holid yang juga masuk HmI dan belum kenal sebelumnya adalah takdir yang lain. Bukan kebetulan atau kemungkinan-kemungkinan probabilitas.

Saya bertemu dengannya ketika ikut forum LK 1 di Buddagan, desa ke arah timur dari kota pamekasan. Hari pertama di forum setahuku holid tidak banyak bicara. mungkin ia larut dalam mengamati. Setelah istirahat keluar di sore hari. Saya bertemu dengannya di kumpulan ferqi dkk yang sampai saat ini masih menjaga silaturahmi.

Dalam forum LK 1, saya dan holid tidak banyak bicara. Masih menjadi pengamat. Sesekali ketiduran sebentar. Tahu-tahu materi sudah berganti. Satu cara yang membuat kami tidak tidur di dalam forum. Kami sepakati sebuah konsensus analisa wajah-wajah calon kader perempuan HmI ( baca : Calon HmI-wati). Yang kami amati bukan yang banyak bicara. Tapi yang menarik hati. Keluar dari forum LK, kami sudah paham keperempuanan. Satu hasil pengamatan yang membuat kami ingin cepat kembali ke forum setelah istirahat. Wajah sayu dan cantik seorang perempuan yang kelak dinikahi senior kami sekaligus menjadi dosen UIN Madura.

“Rowah kalem ri. Cocok ka been ” ucap holid. Saya tertawa. Bukannya bicara mengenai materi di LK. Tapi, malah bicara wajah cantik. Ya…sebelum tangan kuasa senior mengambil. Holid memang jujur soal kecantikan. Rata-rata perempuan yang dekat dengannya cantik-cantik. Saya heran, bisa-bisanya ia didekati perempuan-perempuan cantik. Akhirnya saya temukan jawabannya, ia pandai melobi dan mendekati perempuan.

Dalam pengakuannya, ia pernah melindungi seorang perempuan dari pacarnya. Bukan satu orang. Tapi, dua orang sekaligus. Membuat perempuan merasa nyaman adalah salah satu keunggulannya. Ia pernah menawarkan setengah membujuk saya agar melamar seorang perempuan yang domisilinya jauh dari pamekasan. Saya tidak langsung mengiyakan. Tapi juga tidak menolaknya. Saya pikir, ia bercanda. Ternyata ia jujur. ” Seandainya saya segera mengiyakan. Niscaya sudah mempunyai kader umat dan bangsa”

Bagaimanapun ia jalani hidupnya. Holid tetaplah holid. Ia tidak seperti Agus, Wafi dan imron yang dulu benar-benar perang dingin karena perebutan wilayah taklukan dan teritorial. Holid menerapkan politik dan strategi Tsun Zu, bunyinya.

“The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting (Seni perang yang tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur)”. Tanpa bertempur dan perang dingin seperti yang dilakukan tiga orang di atas. ia sudah lebih awal melakukan penaklukkan dengan epic. Seorang dosen sekaligus senior HmI bertanya siapa yang menjadi pacar sebenarnya? Holid tersenyum.

Holid memang lulusan pesantren ternama di jawa timur. Gayanya menulis mungkin sudah tertanam sejak di pesantren. Puisi-puisinya yang dibuat sudah pasti terbekali saat di pesantren. Ia tidak hanya penikmat pemikiran kiri. Tapi, ia juga menjadi bagian dari penggerak pemikiran kiri. Apa yang menjadi alasannya menjadi penganut pemikiran kiri? Saya tidak bisa memastikan. Tetapi, dari caranya bergerak dan tema yang dijadikan bahan diskusi. Tema politik nilai seperti keadilan, kebenaran, empati kepada rakyat kecil, golongan kaum tertindas mungkin adalah alasan lain.

Manusia bertindak karena ada nilai yang diyakini dan ada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Teori tindakannya Max Weber ini saya jadikan analisa tindakan Holid. Ia adalah tipikal manusia yang tak pernah selesai dengan pikirannya. Holid kerap memprotes. Bagi saya adalah wajar. Ia banyak mengkritik kebijakan. Lihatlah foto profil WA nya. Kepada alumni-alumni HmI yang ikut campur semasa kami di komisariat ia tidak canggung untuk mengkritik.

Bukan holid namanya jika tidak mampu mendekati alumni. Sekali mendekati, langsung jadi staf Fraksi. Diam mengamati bergerak langsung jadi staf. Tapi, protesnya tidak pernah berhenti. Ia tetap protes. Entah dengan jalan lain yang lebih efektif. Turun ke lapangan sebagai demonstran? Tidak.

Agaknya sudah tidak berlaku lagi bagi para aktivis, sebuah adagium yang berbunyi : karir terakhir seorang aktivis adalah mati . Ya memang betul, Demonstrasi bukan untuk mati. Tapi, untuk memberitahu bahwa jalan menuju keadilan sudah terlampau jauh melenceng.

Cara berpikir holid memang mengejutkan. Ia mencari akar dari permasalahan. Mempertanyakan otoritas yang kerapkali dijadikan patokan kebenaran. Bicaranya kadang sarkas. Kadang satire seperti tulisannya tentang saya.

Dulu awal-awal menjadi pengurus HmI komisariat. Ia kadang menulis dalam bentuk puisi. Kadang menulis dalam bentuk prosa. Gaya penulisannya mungkin beberapa tingkat di bawah as laksana. Menulis sambil bercerita. Soal perempuan, ia piawai menjaga hati dan membuat nyaman. Terbukti, ia menikah dan punya anak.

Ia bukan orang yang dalam sajak Chairil anwar ” Tak sepadan” :
… Mengembara serupa ahasveros
Dikutuk-sumpahi eros

Ia adalah manusia dalam sajak Sapardi Djoko damono :

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Ia dan pikiran-pikirannya belum selesai. Tak boleh selesai untuk mempertanyakan kebenaran otoritas. Manusia memang tidak pernah selamat dari rasa sepi meski sesekali. Ia akhirnya menulis lagi di blognya dan yakusa.id.

Kenangan di forum LK hanyalah mengamati perempuan layaknya psikolog. Ya, tujuannya untuk mengusir kantuk. Jika materi tidak bisa menolong untuk tidak tidur. Maka wajah cantik dan sayu adalah cara lain untuk terus terjaga sampai materi selesai. Kenapa tidak dengan materi NDP? Materi ini Sesekali mengagetkan dan bikin orang terjaga. Tapi, kantuk ya tetap kantuk. Mau sebagus apapun materi.

Dari pikiran holid dan seleranya soal filsafat kiri saya hampir ikut arus. Tetapi, saya imbangi dengan membaca buku yang lain. Mungkin kanan. Mungkin juga moderat.

Holid selalu punya cara untuk menutupi rasa gengsinya. Suatu ketika sebelum ia bergabung di salah satu partai. Ia bekerja di bawah naungan mertuanya. Ia menjadi staf bidang kemaritiman area sumenep sebelum akhirnya bekerja di bidang perumahan rakyat di teja sekaligus merangkap pegawai tidak tetap di perpustakaan daerah. Berangkat dari rumah mertuanya bersepatu, memakai setelan pegawai. Rambut klimis.

“Hanya dengan ini kita bisa terlihat terhormat di hadapan mertua, ri” Ucapnya kepadaku. Saya amini. Semoga terwujud. Ucapku di kantor perpustakaan. Sambil tertawa ala orang kantoran. Soal jam kerja, kami kadang lembur di kantor. Berangkat pagi pulang malam. Mirip kehidupan pekerja eropa.

Selang berapa tahun kemudian kita bertemu kembali, Setelah saya dua tahun di malang. Takdir tak bisa diramal seperti cuaca yang tak dapat diprediksi dengan benar-benar akurat oleh BMKG. Kalah akurat oleh Pohon Nangger di Desa Bakeong. Holid menjadi staf fraksi. Saya menjalankan misi keummatan dan kebangsaan dengan mendidik.

Holid tak mau menjadi pion untuk melindungi raja. Tetapi, mungkin karena kompromi. Sesekali ia menjadi benteng dan kuda di saat bersamaan.

Rasanya, bebannya lebih berat. Tetapi, ia lebih tabah dan arif seperti hujan di bulan juni.

Tetapi, dosanya kepada saya adalah menjadikan saya sebagai seorang yang seolah-olah benar-benar menyimpan duka.

Ada Quotes Aristoteles yang saya dapatkan dari perempuan yang pernah jadi teman sekaligus dalam perempuan binaan holid. Bunyinya,

“Harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga.”

Sungguh manis Ucapan perempuan binaan holid. Tapi, membuat saya berpikir dan berkata,

“Tipu daya…tipu daya… “

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *