Oleh: Muslimin (Aktivis Lingkungan)
EjaToday.com, OPINI – Setiap kali saya melintasi jalanan di Ka’nea, saya tidak hanya melihat tumpukan sampah. Saya melihat sebuah pertanyaan besar yang belum pernah dijawab: di mana peran pemerintah desa dalam menjaga ruang hidup kita?.
Sampah-sampah itu bukan sekadar benda buangan. Ia adalah jejak dari kebijakan yang tak hadir, dari kealpaan yang menjadi kebiasaan. Ia adalah saksi bisu atas sebuah sistem yang membiarkan warganya hidup dalam kondisi yang tak layak, tanpa arah, tanpa perhatian.
Ka’nea adalah bagian dari Desa Pattinoang. Namun dalam hal pengelolaan sampah, ia seperti bagian yang dilupakan. Tidak ada tempat pembuangan resmi, tidak ada sistem pengangkutan, tidak ada ajakan kolektif untuk menyelesaikan masalah ini bersama. Yang tersisa hanyalah kesunyian dari pemerintah desa, dan kekacauan yang diderita rakyat kecil.
Saya tidak ingin menuding tanpa dasar. Tapi refleksi ini penting: ketika persoalan seakar ini saja tak mampu ditangani, lalu bagaimana kita bisa percaya pada janji-janji besar tentang pembangunan, kesejahteraan, atau kemajuan desa?
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah seharusnya menjadi pedoman. Tapi yang terjadi adalah pembiaran. Sampah terus menumpuk. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat. Warga terpaksa membakar atau membuang sampah ke sungai karena tak punya pilihan lain. Lalu kita mengeluh soal banjir, soal penyakit, padahal akarnya ada di sini: di tumpukan yang dibiarkan itu.
Saya percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Tapi perubahan butuh keberanian. Keberanian pemerintah desa untuk melihat realitas secara jujur. Keberanian untuk menerima kritik, dan lebih dari itu, keberanian untuk bergerak.
Sudah saatnya Pemdes Pattinoang memandang sampah sebagai panggilan tanggung jawab, bukan sekadar urusan teknis. Karena persoalan sampah sejatinya menguji keberpihakan: berpihak pada kenyamanan birokrasi, atau berpihak pada kehidupan rakyat?
Jika mereka benar-benar hadir, mestinya mereka sudah membuat sistem: menyediakan tempat sampah, mengatur pengangkutan, mengajak warga bergotong royong, mengedukasi anak-anak di sekolah, melibatkan pemuda dan tokoh agama. Tapi yang terjadi hari ini—justru kebalikannya.
Ka’nea hari ini sedang menunggu, bukan hanya solusi, tetapi juga kehadiran yang nyata. Karena yang paling menyakitkan dari semua ini bukanlah tumpukan sampah itu sendiri, melainkan perasaan ditinggalkan.
Kita semua harus bertanya: mau jadi desa seperti apa kita ini? Desa yang bersih, sehat, dan berdaya? Atau desa yang hanya indah di atas kertas, tapi busuk di balik dinding-dinding rumah warganya?
Refleksi ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengingatkan: bahwa wajah buram Pemdes Pattinoang hari ini bukan takdir, tapi bisa diubah—jika ada kemauan, kesadaran, dan keberanian untuk memperbaiki.