Opini  

Jangan Amnesia: Kritik Tambang Raja Ampat Butuh Data, Bukan Drama

Oleh: Romadhon Jasn (Aktivis Nusantara dan fokus kebijakan Publik)

Bayangkan Anda menatap peta konsesi tambang seluas 13.000 hektare, namun yang dibuka hanya 130 hektare dan separuhnya sudah direklamasi. Ironisnya, perdebatan publik ramai soal “kerusakan 500 hektare” yang tak pernah diverifikasi. Inilah momen di mana data menjerit, sementara retorika bertepuk tangan.

Pernyataan Mufti Anam, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP, yang menyebut insiden tambang di Pulau Gag sebagai “pelajaran agar pemerintah jangan ugal-ugalan menerbitkan izin tambang” mencerminkan kritik yang muncul di akhir cerita. Bukan soal kehati-hatian yang ia serukan, melainkan absennya konsistensi selama dua dekade PDIP berada di lingkar kekuasaan—dari era Megawati hingga sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi.

Laporan Greenpeace pada awal Juni 2025 menyebut adanya kerusakan lingkungan akibat tambang di Raja Ampat. Visual laut kecokelatan menyebar cepat di media sosial, menaikkan tagar #SaveRajaAmpat ke puncak trending nasional. Namun evaluasi KLHK dan ESDM mengungkap hal berbeda: hanya 260 hektare lahan konsesi PT Gag Nikel yang aktif, 130 hektare sudah direklamasi. Empat IUP lain tanpa AMDAL dan IPPKH resmi dicabut pada 10 Juni 2025. Di sinilah kritik Mufti Anam terasa ahistoris: menilai “ugal-ugalan” setelah fakta dibersihkan dan kebijakan tegas diambil.

Fakta di lapangan berbicara lain. Pada 5 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menangguhkan sementara operasi PT Gag Nikel—bukan karena kritikan Mufti Anam, tapi atas evaluasi tematik dari KLHK dan tim inspektur. 7 Juni 2025, kunjungan lapangan oleh Bahlil, Gubernur Elisa Kambu, dan tim KLHK mengonfirmasi:
1. AMDAL PT Gag Nikel sah sejak 2014.
2. IUP terbit tahun 2017, dan IPPKH berjalan sejak 2015.
3. Dari luas konsesi 13.000 ha, hanya 130 ha dibuka, atau sekitar 1 %, jauh di bawah batas risiko lingkungan.

Namun, kritik Mufti Anam malah melompat ke ranah umum: “Jangan ugal-ugalan,” seolah tak pernah ada ruang evaluasi sebelumnya. Toh, pembenahan kebijakan menuntut proses, bukan retorika populis. Jika DPR ingin berperan aktif, mestinya menginisiasi revisi tata kelola tambang dan transparansi data sejak lama, bukan menjadi “pahlawan dadakan” setelah kasus menyala.

Fenomena visual yang dibawa Greenpeace juga perlu dipertanyakan. Foto laut keruh yang viral tak mencerminkan kondisi pasca-reklamasi dan justru menyesatkan opini publik. KLHK menyatakan fenomena warna air lebih dipengaruhi pasang surut dan sedimen dangkal alami, bukan limbah tambang. Bahkan, audit menyebut terumbu karang di sekitar lokasi tetap dalam kondisi stabil dan tidak mengalami degradasi berat.

Penyebaran informasi yang keliru semacam itu berpotensi masuk kategori disinformasi visual. Dalam perspektif hukum, hal tersebut bisa ditindak berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran berita bohong yang meresahkan publik. Bila lembaga asing seperti Greenpeace menyebar narasi visual tanpa klarifikasi data resmi pemerintah, negara punya dasar kuat menempuh jalur diplomatik atau gugatan administratif.

Kritik seperti Mufti Anam seharusnya menjadi pintu untuk mengkaji sistem secara menyeluruh: audit berbasis partisipasi, keterbukaan data perizinan, serta pelibatan masyarakat lokal sebagai mitra pengawasan. Di Pulau Gag, sekitar 300 KK justru menyatakan dukungan terhadap PT Gag Nikel yang memberi manfaat langsung berupa air bersih, listrik, pelatihan kerja, dan infrastruktur. Lantas, apakah suara mereka tak cukup layak diangkat dalam percakapan nasional?

Langkah korektif bukan muncul dari tekanan media sosial, tetapi dari mekanisme pemerintahan yang bekerja. Jika DPR ingin berkontribusi, maka seharusnya mendorong transparansi dashboard izin tambang secara daring, merancang sistem pemantauan real-time berbasis satelit, serta mendesak public hearing antara masyarakat, perusahaan, kementerian, dan pengawas independen.

Kata kunci dari polemik ini bukan sekadar “jangan ugal-ugalan,” melainkan akuntabilitas berbasis data. Kritik tidak boleh lahir dari euforia isu, apalagi bila tak disertai evaluasi terhadap sejarah regulasi dan kontribusi partai yang kini bersuara. Jika wakil rakyat ingin membela kepentingan publik, maka pertama-tama, mereka harus menghormati fakta.

Mufti Anam boleh bersuara, tapi jangan amnesia sejarah. Kritik tambang tidak bisa dilandaskan pada drama yang lahir dari ketidaktepatan data. Keberanian menuntut perbaikan sistem lebih terhormat daripada bersuara setelah semuanya selesai dibereskan pemerintah. Kritik yang lahir dari data, bukan drama, akan jauh lebih berguna bagi demokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *