Oleh: Muslimin (Aktivis Desa)
EjaToday.com, OPINI – Pemerintahan desa seharusnya menjadi ruang pengabdian dan keterbukaan. Namun yang kami lihat di Desa Pattinoang, justru sebaliknya. Warga menyaksikan sendiri bagaimana jabatan-jabatan desa diberikan kepada orang-orang yang punya hubungan keluarga atau kedekatan pribadi dengan kepala desa. Misalnya, jabatan Kasi Pemerintahan. Inilah nepotisme—dan ia bukan sekadar isu, tapi kenyataan pahit.
Sebagai aktivis desa, saya tidak sedang mengada-ada. Warga tahu, tetapi banyak yang memilih diam karena takut, malas berurusan, atau merasa suaranya tak akan didengar. Inilah persoalan yang lebih besar: ketika ketidakadilan dibiarkan, ia menjadi hal biasa. Ketika warga diam, kekuasaan berjalan tanpa kontrol.
Kita perlu ingat, jabatan publik bukan milik pribadi. Pemerintah desa dibentuk untuk mengurus kepentingan bersama, bukan memperkaya jaringan keluarga. Ketika semua hanya diatur oleh “siapa dekat dengan siapa”, maka kesempatan orang-orang yang lebih layak jadi tertutup. Yang dirugikan bukan satu-dua orang, tapi seluruh warga desa.
Nepotisme bukan hanya soal etika, tapi soal kepercayaan. Ketika warga kehilangan kepercayaan, maka hubungan antara pemerintah dan rakyat akan rusak. Tanpa kepercayaan, pembangunan akan penuh kecurigaan. Dan tanpa keterbukaan, kemajuan hanya akan jadi janji kosong.
Saya menulis ini sebagai suara dari bawah. Suara yang ingin mengingatkan bahwa desa ini milik kita semua, bukan milik keluarga yang sedang berkuasa. Jika kepala desa benar-benar peduli pada warganya, maka dia harus membuktikan itu dengan membuka ruang bagi siapa saja yang ingin mengabdi—bukan hanya bagi mereka yang “punya hubungan”.