Oleh: Hasan Maftuh., M.A*
Secara historis, Hak Asasi Manusia (HAM) muncul mula-mula di Inggris tahun 1215, dengan prinsip “manusia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum”. Pada 1789 deklarasi HAM dilakukan kembali di Perancis yang menyoal mengenai equality before the law, ada tiga poin penting yaitu: 1) kebebasan manusia untuk menyampaikan pendapat, 2) kebebasan manusia dalam beragama, 3) kebebesan memiliki dan mengelola harta benda yang dimiliki.
Tetapi, filsafat sebagai induk dari lahirnya ilmu pengetahuan, mampu beradaptasi dengan perkembangan peradaban manusia. Filsafat mampu melahirkan para pemikir dengan disiplin ilmu pengetahuan masing-masing. Misalkan, lahir para intelektual dalam dunia Islam dengan latar keilmuan yang berbeda, ada ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya, termasuk dalam bidang hukum Islam (fiqh).
Sejak perkembang filsafat barat, tepatnya saat kemunculan Imanuel Kant, pertentangan antara agama dan negara mulai terjadi. Filsafat Kant membahas mengenai moralitas yang dianggap para ilmuan Barat lebih universal dan kontekstual. Pemikiran filsafat Kant menjadi titik awal berkembangnya pemikiran rasionalisme-sekuler yang pada saat itu lebih dipilih. Kehadiran Kant, kemudian melahirkan tradisi hukum positif di Barat. Perilaku baik buruk manusia ditentukan oleh cara berpikir yang rasionalitas-empiris, bukan pada argument-argument yang bersifat teologis.
Apakah hukum Islam dirumuskan atas landasan positivistik? Dalam sejarahnya, perumusan hukum Islam, tidak terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat. Menurut Abdul Wahab Khallaf, kepentingan penerapan hukum Islam akan selalu melihat kepentingan masyarakat atau realitas empiris. Hukum Islam menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar pembangunan hukum. Dalam perspektif HAM, hukum Islam harus merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Tetapi, ada semacam perbedaan pandangan antara hak asasi manusia (HAM), jika di kaitkan dengan hukum Islam. Ada tokoh yang mendukungnya, tetapi ada juga yang bertolak belakang. Misalkan, pemikiran Bassam Tibi yang cenderung mempertentangkan proses dialog antara hukum Islam dan HAM. Disatu sisi, tokoh lainnya seperti Muhammad Arkoun dan Hasan Asy-Syarqawi lebih sepakat untuk menyelaraskan nilai-nilai kemanusiaan dan fiqh. Pertentangan itu, mungkin saja berasal dari metodologi atau pendekatan pemikiran yang dilakukan.
Sebagaimana pemikiran Muhammad Arkoun sebagai kalangan yang sependapat apabila fiqh bisa ditransformasikan ke dalam pembentukan hukum nasional sebuah negara. Kahadirannya akan sangat relevan, dikarenakan eksistensi teologis dan penafsiran teks akan selalu hidup pada waktu memproduk hukum, misalnya membahas mengenai HAM.
Titik tekan pemikiran Arkoun yakni tentang pemberlakukan regulasi hukum Islam dengan adanya syarat. Adapun syarat tersebut adalah bagaimana implementasi nilai-nilai hukum Islam ini lebih akomodatif terhadap dinamika dan budaya di masyarakat.
Sedangkan, Hasan Asy-Syarqawi menyebut jika HAM harus diutamakan dan dijunjung tinggi dalam ajaran hukum Islam, kecuali dari sisi-sisi teologis atau hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Nilai-nilai kemanusiaan sangat selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Bagaimana, rasulullah memberikan suri tauladan atau contoh yang baik tentang bagaimana memperlakukan manusia (humanisasi).
Dalam perspektif teori ilmu sosial profetik, seperti apa yang disampaikan Kuntowijoyo, terdapat tiga unsur penopang dalam merumuskan pemikiran dan sikap kita sebagai manusia, adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia, liberasi berarti membebaskan masyarakat manusia dari keterkungkungan dan penindasan struktural dan transendensi adalah menempatkan Tuhan, sebagai tujuan dari kehidupan yang ada. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un (semua yang ada berasal dari Allah Swt, dan akan Kembali kepada Allah Swt).
Pemikiran Arkoun dan As-Syarqawi tentang transformasi hukum Islam sangat relevan untuk dikaji dan dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai Islam yang sangat baik dalam membahas mengenai manusia. Bahkan, tugas utama dakwah rasul di era awal Islam adalah tidak lepas dari tiga pilar ilmu sosial profetik yang telah dirumuskan oleh Kuntowijoyo, yakni membebaskan umat dari keterkungkungan sosial untuk lebih mengangkat derajat manusia.
Maka, sudah sangat jelas tidak ada hal yang berbenturan antara Islam dan nilai-nilai kemanusiaan seperti apabila kita memakai sudut pandang filsafat Barat yang cenderung sekuler. Argumentasi filsafat Barat sebetulnya tidak sesuai dengan landasan filosofis ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis terhadap HAM. Pemikiran Arkoun dan As-Syarqawi tentang transformasi hukum Islam dalam pembahasan nilai-nilai kemanusiaan menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut.
*Penulis merupakan Sekretaris Direktur LDMI PB HMI 2021-2023.