Opini  

Kongres HMI dan Pentingnya Kesadaran Intelektual

 

 

Oleh: Muh. Fariz Zainal Islami

Belakangan ini, kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari berbagai daerah tengah melakoni suatu agenda besar yang sangat krusial di dalam tubuh HMI. Sebuah giat yang menjadi momentum transformasi kepemimpinan HMI. Tak lain dan tak bukan adalah Kongres PB HMI.

Kongres PB HMI saat ini adalah yang ke-XXXII setelah pelaksanaan kongres di Surabaya pada Tahun 2021 silam. Pada tahun ini, pelaksanaan Kongres PB HMI ditempatkan di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

Pelaksanaan Kongres PB HMI menjadi pertanda bahwa satu periode kepengurusan pimpinan PB HMI akan segera usai. Hal itu juga menjadi salah satu motivasi setiap delegasi cabang Se-Indonesia untuk melibatkan diri di dalam kongres karena merupakan kesempatan besar yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pimpinan HMI.

Di setiap pelaksanaannya, Kongres PB HMI selalu saja menjadi pusat perhatian publik. Semacam memiliki daya tarik tersendiri. Entah karena apa. Tetapi yang jelas, apapun alasannya, kita mesti bersepakat bahwa kongres bukan semata-mata hanya untuk mencari Ketua PB HMI yang baru. Lebih dari itu, Kongres PB HMI harus mampu memunculkan gagasan-gagasan besar terhadap organisasi, bangsa, dan negara.

Maka dari itu, penting kiranya kita bersama-sama mewujudkan kongres HMI yang berkualitas; kongres yang tak melulu soal carut marut politik para kandidat Ketua PB. Tentunya, ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Bahkan juga menjadi tanggung jawab alumni sebagai orang-orang yang pernah berkecimpun di dalam tubuh HMI.

Kongres HMI, Pertarungan Gagasan, dan Masa Depan Indonesia

Membincang perihal kongres, kita mesti berkaca pada kongres yang menetapkan Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai Ketua Umum PB HMI. Mengapa demikian? Karena pada saat itu, kongres betul-betul dijadikan sebagai momentum untuk merefleksi masalah kebangsaan. Misalnya, Kongres HMI di era Cak Nur memunculkan sejumlah wacana besar tentang Indonesia, salah satunya tentang isu primordial Jawa dan luar Jawa.

Maka tak heran jika di periode kedua, tepatnya pada tahun 1969, saat pelaksanaan Kongres HMI ke-9 di kota Malang, Cak Nur kembali didapuk sebagai Ketua Umum PB HMI. Karena dianggap sebagai sosok yang mampu mengentaskan isu-isu kebangsaan yang muncul dalam Kongres PB HMI.

Berkaca pada hal tersebut, kita harus mengkroscek dan memastikan kembali bahwa Kongres PB HMI sebagai forum tertinggi benar-benar membawa angin segar untuk masyarakat Indonesia.

Terlebih lagi, jika HMI menggunakan uang dan fasilitas negara dalam melaksanakan kongres, maka sudah selayaknya kongres bukan hanya untuk warga hijau hitam, tetapi juga untuk warga Indonesia. Bahkan, bukan hanya untuk masa depan HMI, tetapi juga untuk masa depan Indonesia.

Kalau kesadaran itu telah mengakar dalam jiwa setiap kader HMI, maka kongres HMI akan menjadi ruang yang dapat memikirkan gejala-gejala sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan atau hal-hal lainnya yang hari ini dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan banyak orang.

Oleh Suharsono, dalam bukunya yang bertajuk HMI; Pemikiran & Masa Depan, ia menganggap bahwa HMI adalah organisasi Islam yang kekuatannya berpusat pada gerakan intelektual muslim. Bagi Suharsono, gerakan intelektual muslim oleh HMI adalah pemanisfestasian prinsip-prinsip Islam secara intelektual ke dalam aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat.

Artinya, HMI mesti hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menawarkan solusi akan masalah-masalah yang tengah terjadi. Ini sejalan dengan tujuan suci HMI, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk sampai pada realitas itu, kongres harus menjadi salah satu titik berangkat kita.

Tak salah jika kongres dijadikan sebagai momentum konsolidasi nasional untuk memunculkan dan menyumbang gagasan-gagasan besar dalam merespon kondisi kebangsaan kita hari ini. Soal apa dan bagaimana masalah kebangsaan dan kenegaraan kita hari ini, itulah yang harus kita jawab bersama melalui Kongres PB HMI ke-XXXII ini.

Jika kita hendak menjadikan Kongres HMI sebagai titik berangkat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka sudah seharusnya kita melepaskan belenggu-belenggu politik dalam tubuh HMI.

Salah satu belenggu politik dalam tubuh HMI hari ini ialah; orang-orang melihat dan memilih pimpinan HMI bukan pada gagasannya, tapi karena pertimbangan ia berada pada kelompok siapa. Maka wajar saja jika ada segelintir orang yang memandang kongres bukan sebagai ajang pertarungan gagasan.

Kita sepakat dinamika politik internal HMI itu pasti ada. Apalagi organisasi besar seperti HMI ini. Tetapi sebagai intelektual muslim, kita juga tidak boleh lupa, HMI besar karena ide dan gagasan-gagasannya. Oleh karena itu, secara esensial, kriteria pertama calon pemimpin HMI adalah memiliki khazanah pemikiran yang luas, terutama pada soal keislaman dan keindonesiaan.

Berangkat dari hal tersebut, penulis mengajak seluruh kader HMI untuk berperan aktif menjadikan kongres sebagai ajang pertarungan gagasan kader-kader terbaik HMI se-Indonesia yang berkontestasi sebagai Kandidat Ketua Umum PB HMI.

Ini penting untuk kita perlihatkan, agar para kontestan Calon Ketua Umum PB HMI menyadari urgensi kemampuan intelektual dalam memimpin HMI. Juga sebagai penegasan, bahwa HMI mendepankan politik gagasan bukan seteru politik antar gerbong.

Kongres HMI dan Momentum Pembenahan Organisasi

Seperti telah terjelaskan di muka, salah satu hal penting yang harus difokuskan di dalam Kongres HMI adalah membahas tentang masa depan organisasi.

Masa depan organisasi mengandung teka-teki dan misteri, sebab kita akan diperhadapkan pada kondisi yang sangat majemuk. Tetapi, bukan berarti kita tak dapat mempersiapkan masa depan organisasi dengan baik.

Kita tidak menginginkan HMI ke depan hanya menjadi organisasi yang dianggap besar tapi tak berisi. Kita juga tidak menginginkan HMI ke depan hanya dianggap sebagai organisasi yang memiliki banyak massa tapi tak mampu melakukan pemberdayaan.

Oleh karenanya, untuk memproteksi itu semua, lagi-lagi jawabannya adalah Kongres HMI.

Konstitusi menjelaskan bahwa Kongres HMI adalah forum tertinggi yang dapat digunakan untuk memusyarahkan segala hal yang berkaitan dengan HMI. Misalnya tentang pengaderan, pemberdayaan kader, pemberdayaan lembaga kekaryaan/badan-badan khusus HMI, NDP, dan hal-hal lainnya.

Sebagai organisasi yang besar, sangat mustahil apabila tidak ada kader-kader atau pengurus HMI yang tidak memiliki kritikan atau ide-ide pembaharuan terhadap organisasi.

Oleh karena itu, kongres harus mewadahi para peserta untuk menyampaikan kritikan dan saran-saran tentang pembenahan organisasi. Jika perlu, kongres betul-betul membuka ruang yang seluas-luasnya untuk merefleksi kondisi HMI hari ini, dan membahas arah gerak HMI ke depan.

*Penulis merupakan Ketua Umum HMI Cabang Makassar Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *