Opini  

Perlukah kita ajarkan siswa bernalar-kritis?

Oleh: A Ansori ( Guru Bahasa Arab SDI Al-Fahmiyah)

Suatu ketika saya mengajar pelajaran agama di kelas 3 sekolah dasar, bab yang saya ajarkan terkait keteladanan Nabi Yusuf as. Saya bercerita mulai dari masa kecil Nabi Yusuf as sampai masa dewasanya, tepatnya pengangkatannya sebagai pejabat mesir. ketika saya menceritakan penganiayaannya oleh saudara-saudaranya, yakni peristiwa pembuangan Nabi Yusuf ke dalam sumur yang cukup dalam-Berdasarkan penelusuran di google sumur ini memang cukup dalam. Karena cukup dalam inilah mungkin yang menjadikan sebuah pertanyaan muncul di benak seorang siswa, kenapa Nabi Yusuf as tidak meninggal saat diceburkan ke dasar sumur?. Dari beberapa pertanyaan, pertanyaan ini cukup bagus.

Apa yang perlu diperhatikan dari hal tersebut? Adanya pertanyaan yang mungkin bagi kita sudah biasa untuk anak di bawah umur 10 tahun, apalagi pelajaran agama. Nyatanya, setelah dipikir-pikir, tidak hanya karena pelajaran agama. Pertanyaan itu muncul karena keingintahuan atau karena ketidaktahuan. Bedanya, pertanyaan atas dasar keingintahuan adalah pertanyaan yang muncul ketika terjadi proses dialektika antara fakta atau kenyataan yang diketahui sebagai bagian dari apersepsi dengan ide baru. Sedangkan pertanyaan karena ketidaktahuan biasanya muncul karena benar-benar tidak tahu. Pertanyaan ini biasanya dicirikan dengan kata tanya; apa. Seorang guru biasanya menjelaskan dengan definisi yang ia ketahui.

Apakah keingintahuan yang lahir dari proses dialektika perlu dihentikan? Tidak. Bahkan hal ini penting agar pelajaran yang diajarkannya tidak selalu diterima begitu saja. Mungkin inilah yang mendasari penolakan Paulo freire-seorang tokoh pendidikan Brazil- terhadap pola pengajaran dengan konsep gaya bank yang ia amati di negaranya tersebut. Dimana Siswa datang, duduk, diam, menerima pengetahuan dengan pasif, dan pulang. ini pula yang mendasari filsafat pendidikannya John Dewey yang didasarkan dengan pengalaman serta mengharuskan adanya kebebasan inteligensia bagi siswa.

Masalah yang kita hadapi hari ini di dunia pendidikan cukup kompleks. Mulai dari rendahnya melek aksara dan makna ( literasi) sampai kekurangan penalaran kritis. Kurikulum pendidikan yang baru hari ini benar-benar ingin menjadikan murid-murid kita sebagai manusia Indonesia yang paripurna. Kita bisa melihat profil pelajar pancasila; beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Berakhlak mulia, berkebhinekaan global, gotong-royong, mandiri, kreatif dan bernalar kritis. Profil pelajar pancasila ini masih normatif. Kenyataannya, siswa kita tidak benar-benar bernalar kritis. Mungkin kita akan berpikir harap maklum terhadap siswa di sekolah dasar. tapi, apakah kita tetap mengatakan harap maklum pada siswa di sekolah menengah atas? Parahnya, nalar kritis ini jarang diterapkan dan diajarkan ketika sudah masuk level mahasiswa. Alhasil, lahirlah sarjana ijazah. Rocky Gerung mengatakan, Ijazah sebagai tanda seseorang pernah sekolah bukan tanda bahwa ia pernah berpikir.

Kita spesifikkan pada pembahasan siswa sekolah dasar ( SD). siswa kita jarang memunculkan pertanyaan yang mengernyitkan dahi gurunya. Kebanyakan menerima, sesudah itu mengerjakan tugas dan pulang. Padahal dari banyak metode pembelajaran-kecuali pembelajaran bahasa- yang digunakan di modul ajar mengajarkan siswa kita bernalar kritis. Terlebih lagi, kurikulum merdeka mengharuskan student centered approach. Metode ceramah yang biasanya digunakan di pembelajaran dengan teacher centered approach sudah kurang relevan lagi, minimal dikurangi ketika pembelajaran ilmu eksakta. Siswa kita tidak banyak bertanya. Mereka lebih banyak diam dan pasif menerima pengetahuan.

Mungkin kita akan berspekulasi, mereka yang tidak banyak bertanya sudah tentu tidak banyak pengetahuan sebagai fondasi menerima ide baru dari gurunya. Mungkin juga kita setuju, siswa yang banyak bertanya biasanya sudah punya pengetahuan awal atau pengalaman yang kebetulan berkaitan dengan ide atau pelajaran yang disampaikan gurunya. Mungkin juga, kita berasumsi tidak adanya dorongan orang tua. Mungkin juga , kita tidak sadar bahwa kadangkala kita sebagai guru tidak memantik dengan pertanyaan yang relevan dengan kehidupan mereka serta mencoba mengaitkan pelajaran dengan kehidupan mereka.

Spekulasi itu biarkan muncul sebagai bentuk kegelisahan dan kepedulian kepada siswa kita. Tentu dengan catatan mesti punya jawaban yang dihasilkan dari olah pikir. Saya coba uraikan dari spekulasi awal. Siswa kita tidak banyak informasi relevan untuk menerima pelajaran dari guru-gurunya. Akibatnya, pelajaran itu sama sekali baru bagi mereka. Bayangkan saja, ketika kita hadir di suatu seminar yang hal itu bukan bidang kita. Kita mungkin akan kebingungan sebelum kita mencari lewat google. Spekulasi selanjutnya, siswa yang banyak informasi relevan dengan pelajaran dan pengalamannya akan banyak bertanya. Keingintahuannya muncul karena dirasa ada yang menggugah dirinya untuk mengetahui lebih lanjut. Kalau bukan karena pengetahuan yang dimiliki, biasanya karena pengalaman yang dimiliki. Contohnya, dari manakah pertanyaan terkait hubungan kematian seseorang dengan dalamnya sumur muncul dalam bentuk pertanyaan? Bisa saja dari kenyataan, rata-rata seseorang yang jatuh ke dalam sumur pasti meninggal. Setelah itu dihubungkan dengan cerita seseorang ( Nabi Yusuf as) yang tidak meninggal ketika diceburkan ke dalam sumur. Ini mengingatkan saya pada pernyataan, apabila teori dihadapkan dengan kenyataan maka akan muncul dua kemungkinan; teori kalah, kenyataan menang atau kenyataan kalah, teori menang.

Spekulasi berikutnya, uraian tidak adanya dorongan dari keluarga dan lingkungan sekolah, khususnya orang tua dan guru. Dorongan belajar dari orang tua akan membuat seorang anak termotivasi. Dorongan dengan alasan-alasan logis mengapa mesti belajar bisa jadikan seorang anak giat belajar dan keingintahuannya muncul. Guru di sekolah dengan waktu setengah hari tidak cukup banyak mempengaruhi. Tetapi, cukup untuk merangsang nalar kritis siswa. Kita bisa lihat pada pemakaian metode pembelajaran problem based learning ( PBL) yang oleh Trianto dikatakan mempunyai tujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa dan keterampilan mengatasi masalah.

Keterampilan berpikir, menyusun argumen dan bernalar kritis adalah kemampuan dasar berfilsafat yang saat ini mungkin akan banyak dimusuhi oleh sebagian orang karena dianggap merusak pikiran. Kesalahpahaman terhadap filsafat bisa terus terjadi karena kecenderungan manusia akan terus menerus dengan kecurigaan terhadap suatu hal yang sudah dianggap tabu dan bahaya jika didekati.

Betapa penting kita ajarkan kepada siswa terkait nalar kritis dan menerapkannya dalam pembelajaran. Yang perlu kita bedakan, bernalar kritis dan bertanya yang kurang relevan dengan pelajaran. Pertanyaan lain mungkin akan muncul di benak guru, lantas bagaimana jika pelajaran tidak selesai sesuai bab buku? Kurikulum merdeka tidak terfokus pada bab yang ada di buku pelajaran.alasannya, Bagaimanakah kita menyamakan pemahaman anak di Jakarta dengan anak yang jauh dari ibu kota? Kemampuan mereka mungkin berbeda akselerasinya. Tapi, pemahaman mereka akan suatu konsep bisa saja sama meskipun akselerasi pemahamannya berbeda. Secara bab mungkin akan ketinggalan.

Sekarang kita bayangkan begini, kita mengajarkan siswa bernalar kritis akan pentingnya membuang sampah. Sehingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa sampah yang dibiarkan akan menjadikan lingkungan kotor dan menjadi sarang penyakit. Bukankah menjadi suatu kebanggaan dan kesuksesan kita dalam mendidik generasi selanjutnya ketika hal itu terjadi. kesuksesan generasi selanjutnya adalah kesuksesan generasi hari ini dalam mendidik.

Bernalar kritis jadikan siswa tidak ikut-ikutan suatu hal. Mereka akan mempunyai dasar untuk bergerak. Ini pula yang membedakan manusia dengan hewan yang bergerak karena insting. Aristoteles menyebutnya, manusia adalah hewan berpikir ( al-insanu hayawanun natiqun). Siswa yang mampu bernalar kritis akan mempunyai kesadaran bahwa bertindak atau tidak bertindak akan mempunyai konsekuensi pada kehidupan mereka.

Tanpa menutup bahwa ini kesimpulan terakhir serta menutup perdebatan. siswa tidak mesti kita ajarkan dengan metode ceramah. Kecuali dalam pelajaran tertentu yang bersifat dogma salah satunya penanaman konsep dalam pembelajaran bahasa. ilmu dalam rumpun ilmu humaniora ini memang memiliki metode yang berbeda contohnya, Thariqatul mubasyarah atau direct method . selain rumpun ilmu ini, metode yang memancing siswa berpikir kritis dan memecahkan masalah mesti digunakan. Karena bernalar kritis itu penting sebagai bekal kehidupan mereka menjalani kehidupan di luar sekolah. Maka bernalar kritis perlu diajarkan kepada siswa. Semuanya tidak akan berjalan tanpa adanya sinergitas antara tiga komponen. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara, dikenal dengan tri pusat pendidikan yang dimasukkan dalam tujuan pendirian KKG Mini Ibnu Sina SDI Al-Fahmiyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *