Oleh: Hasanuddin*)
Tema ini bukan hal baru dalam wacana politik nasional kita. Tapi menjadi urgen untuk kembali di sampaikan sebagai pengingat bagi kita semua, karena jika proses transisi demokrasi ini gagal kita lakukan, ada potensi ancaman social disorder yang akan berdampak luas terhadap seluruh upaya kita membangun bangsa.
Konsolidasi menuju transisi demokrasi, telah kita lalui cukup baik, terbukti dengan telah berhasilnya kita melewati proses pergantian kepemipinan nasional melalu PEMILU “yang damai”. Meski harus di akui bahwa diksi “Pemilu damai” ini belum mencerminkan azas penyelenggaraan Pemilu yang Jujur dan adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 yang sedang berproses saat ini, masih menggunakan terma “Pemilu damai” dengan demikian secara sadar atau tidak, kita masih memahami bahwa posisi kita masih dalam tahap transisi menuju demokrasi sebagaimana Pemilu-pemilu sebelum-nya.
Hanya saja, jika kita mencermati case by case yang muncul menjadi sorotan perdebatan publik, nampaknya kita bukannya sedang bergerak “lebih maju”, bahkan sebaliknya ada kesan sedang bergerak mundur dari tahapan proses transisi demokrasi yang semestinya.
Indeks demokrasi mengalami penurunan, demikian disampaikan berbagai kalangan yang melakukan monitoring terhadap praktek penyelenggaraan kehidupan demokrasi di tanah air. Bukan hanya ahli atau pakar dalam negeri yang mengatakan demikian, namun juga di konfirmasi oleh lembaga internasional yang melakukan riset secara berkala.
Sejumlah pertanda bahwa terjadi penurunan kualitas demokrasi antara lain; (1) massif pembicaraan perihal munculnya kembali pemikiran politik otoritarianisme di benak penguasa. Dan tidak sekedar dalam pikiran, namun sudah di coba untuk diimplementasikan dalam politik praktis. Misalnya: pikiran untuk melanggengkan kekuasaan melalui “pemanfaatan” hukum dan perundang-undangan, atau politisasi hukum. Bukan hanya pada level norma hukum yang diabaikan, sehingga terjadi pelanggaran etika politik yang mendegradasi moral politik, namun juga dalam pelaksanaannya. Institusi-institusi hukum diintervensi oleh kekuasaan. KPK “dilemahkan” dan diperalat menjadi “penjaga” penguasa. MK di intervensi oleh kekuasaan, demi kepentingan politik keluarga. Polisi dijadikan “alat politik elektoral”, melalui cara-cara intimidasi terhadap pihak-pihak yang “berbeda” sikap dan pandangan politik kepada pemerintah. Wajar jika muncul _warning_ dari berbagai kalangan dengan mengingatkan keadaan di masa orde baru. Warning itu sendiri, disampaikan oleh siapa pun, relevan. Tidak seharusnya di cibir, atau diabaikan. Terutama oleh para Penyelenggara PEMILU.
KPU dan Bawaslu harus “jeli” menyimak wacana perbincangan politik terkait fenomena atau gejala hadirnya kembali prilaku “otoriterianisme” ini.
KPU dan Bawaslu mesti memahami posisinya yang sangat sentral dan menentukan dalam memastikan bahwa aturan penyelenggaraan PEMILU dengan azas-azasnya tegak, sehingga menghasilkan pemerintahan yang legitimate.
Karena itu, KPU dan Bawaslu sebagi “penyelenggara” mesti menyadari bahwa tugasnya bukan semata memberikan layanan bagi para kontestan secara tekhnikal, namun juga mesti waspada terhadap segala bentuk upaya pihak-pihak tertentu dalam menurunkan tingkat legitimasi keabsahan penyelenggaraan Pemilu.
Kita sudah melihat bagaimana data pemilih di curi dan diperjualbelikan. Ini buruk sekali, bukan hanya menunjukkan kinerja penyelenggaran PEMILU yang buruk, tapi juga memberitahu kepada dunia bahwa sistem keamanan data Pemilu lemah, dan sebab itu berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan terhadap hasil Pemilu. Banyaknya laporan dugaan pelanggaran Pemilu, tapi tidak ditindak tegas. Dugaan “cawe-cawe” Presiden, disusul oleh pihak-pihak yang terafiliasi dengan kekuasaan eksekutif yang melakukan berbagai bentuk intimidasi.
Semua itu semestinya tidak terjadi, jika ada pemahaman yang baik akan tanggungjawab meningkatkan kualitas demokrasi, dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi kita, yang pada ujungnya diharapkan mengantar kita sukses menjadi negara demokrasi, dan tidak sebaliknya gagal, lalu kembali terjebak dalam otoriterianisme.
Semoga catatan ini bermanfaat bagi kita semua sebagai pengingat bahwa tugas meningkatkan kualitas demokrasi itu, tugas kita semua, oleh kita semua dan untuk kita semua. Semoga hari-hari menuju pelaksanaan pencoblosan, tidak semakin banyak kasus pelanggaran disiplin dalam mematuhi azas Pemilu, sehingga tingkat legitimasi Pemilu tinggi dan dapat di terima semua kalangan dengan berbesar hati.
Perubahan dan perbaikan kualitas demokrasi itu, suatu keniscayaan untuk kita semua dalam memajukan bangsa dan negara.
Mari kita kawal proses transisi menuju demokrasi dengan berkompetisi secara sehat, dengan berdisiplin pada tugas dan tanggung jawab masing-masing.
*Ketua Umum PBHMI periode 2003-2005)