Oleh: Nurunnisa dan Farah*)
Saat ini kita mempertanyakan eksistensi dan esensi dari Kohati (Korps HMI-Wati), sebab melihat kondisi objektif hari ini terlihat semakin jauh dari ide dan gagasan dibentuknya. Kohati yang lahir sebagai gerakan keperempuanan di tubuh HMI untuk menjawab persoalan perempuan, menjadi wadah aspirasi dan menuju perjuangan keadilan perempuan justru tidak tergambarkan di Munaskoh saat ini.
Terhitung sejak tanggal 24 November hingga 4 Desember 2023, penyelenggaraan Munaskoh XXV di Pontianak sebagai puncak tertinggi pengambilan keputusan, bersilaturahmi, beradu ide dan gagasan dari kandidat yang berbasis intelektualitas dalam semangat keislaman dan keindonesiaan berubah arah menjadi peristiwa yang mengaburkan semangat intelektualitas dan nilai aktivisme HMI-Wati.
Peristiwa dalam Munaskoh menjadi catatan penting ketika kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) Kohati hari ini memperlihatkan komposisi residu yang jauh lebih banyak, yang termanifestasi dalam tindakan-tindakan anarkisme yang kita sebut sebagai kelompok hardware atau perangkat keras. Sebaliknya, HMI-Wati yang mengetahui proses-proses politik dalam Munaskoh sebagai basic survive tidak terlalu nampak dengan intelektualitasnya. Kondisi ini menjadi poin kemunduran organisasi Kohati sebagai badan semi otonom dari HMI.
Munaskoh yang menjadi representasi dari kader HMI-Wati se-Indonesia, justru membangun kecaman dalam bentuk persepsi publik yang menjadi kritik dan evaluasi besar untuk kita semua. Kondisi ini merupakan tanggung jawab kita semua, sebagai manusia yang sadar tentang konsep keadilan dan kesetaraan bagi perempuan untuk kembali merekonstruksi Kohati pada semangat perjuangan menghapus penindasan terhadap perempuan. Bukan untuk menjadi alat politik daripada pemilik kepentingan.
Sejalan dengan penjelasan di atas, kita melihat bahwa kegagalan Kohati mencegah conflict of interest dan rendahnya pendidikan strategi-taktik menyebabkan Kohati mengarah pada kehausan akan kekuasaan.
Hal ini menjadi keprihatinan yang menyentuh para pihak, bagaimana perempuan yang seharusnya mendukung sesama perempuan atau Kohati dalam melawan ketertindasan dan ketidakadilan justru diadu dalam politisasi identitas dan kepentingan dari para kandidat yang mengedepankan elitis dan senioritas.
Akhirnya, para kader Kohati menjual rasionalisme dan idealismenya dan menjadi kaki tangan kepentingan kekuasaan bahkan masuk ke ranah transaksional yang menghalalkan segala cara dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Hasilnya, kondisi objektif dari Munaskoh hanya berisi kepentingan-kepentingan yang dibalut tindakan anarkis. Banyaknya kekerasan di antara perempuan, penggiringan opini terhadap pimpinan sidang, serangan personal bahkan termuatnya identitas pribadi dari para peserta Munaskoh di media, memberikan catatan panjang akan kondisi Munaskoh yang tidak baik-baik saja.
Puncaknya adalah ketika proses pemilihan Ketua Umum Kohati PB HMI. Para peserta yang mengikuti munaskoh terlihat sangat tidak kondusif bahkan banyak terlibat adu fisik dan saling menyalahkan satu sama lain. Jumlah peserta yang kelelahan juga sangat banyak, sebab forum berlangsung hingga pagi hari karena penguluran waktu dan manajemen forum yang tidak kondusif.
Sehingga kejadian ini membawa kami untuk mengecam mereka yang terlibat dan melanggengkan ketidakjelasan Munaskoh termasuk membuat para peserta tidak mendapatkan istirahat yang layak, lelah secara emosional dan fisik bahkan terkait dengan keamanan.
Munaskoh seharusnya menitikberatkan pada penekanan kandidat dalam menawarkan kebaharuan, evaluasi, analisis, maupun mengedepankan kecakapan dan kapabilitas yang menegasi bahwa perempuan itu tertinggal. Akan tetapi, hal-hal tersebut dikesampingkan dengan terjadinya kecacatan proses musyawarah, administrasi, formalitas seleksi, dan mekanisme yang terangkum dalam berjalannya Munaskoh.
Sialnya, rentetan kejadian ini muncul di perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Maka, satukanlah solidaritas kita untuk keluar dari polemik ini. Perjuangan kita adalah keluar dari status quo yang rentan membelenggu, mengadu domba, dan menyurutkan semangat pergerakan perempuan.
Sejatinya kita adalah kader yang kiranya bertumbuh dalam intelektual, berdiri di perjuangan keadilan perempuan bukan dalam polemik yang tidak esensial ini. Sehingga, rentetan panjang ini seharusnya menjadi kritik dan evaluasi bagi Kohati PB HMI agar memperbaiki kondisi internal Kohati serta ke depannya dalam pelaksanaan Munaskoh bisa dibangun menjadi forum yang berkualitas dan mengedepankan gagasan.
*Penulis merupakan kader HMI-Wati Makassar Timur dan Kohati Solo.