Oleh: Rendi Pratama*
Sejak 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menampakkan dirinya sebagai tonggak sejarah bagi peradaban masyarakat Indonesia. Kontribusi yang lebih menonjol dari HMI adalah pengabdiannya untuk kemajuan bangsa Indonesia yang bersumber dari pemikiran-pemikiran tranformatif .
Selain itu, tidak sedikit sosok tokoh-tokoh bangsa ini yang lahir dari rahim HMI. Seperti Prof. Lafran Pane yang telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional karena telah mendedikasikan dirinya untuk menghapuskan kolonialisme Belanda.
Sosok Lafran Pane juga memberikan transfromasi pengetahuan terhadap khazanah ilmu pengetahuan, ia mampu menciptakan formulasi baru yang tertuang dalam pemikiran ke-Indonesiaan dan ke-Islamannya dalam kacamata yang objektif.
Sebagai sosok yang memprakarsai berdirinya HMI, pemikiran ke-Indonesiaan dan ke-Islaman Lafran Pane menjadi cikal bakal HMI mampu hidup sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia.
Akibatnya, HMI tetap menjadi gerakan Islam politik yang moderat tanpa mendeskreditkan kelompok Islam dan kelompok politik manapun, karenanya seluruh generasi HMI didorong menjadi penggerak yang terpelajar yang selalu menjaga nilai-nilai Islam yang terbuka dan peka terhadap masalah umat dan bangsa Indonesia.
Pasca generasi pendiri HMI, kualitas generasi HMI makin ditonjolkan lagi melaui salah satu sosok cendekiawan muslim Indonesia yaitu Nurcholis Madjid. Dirinya yang tampil dipermukaan pergerakan HMI pada tahun 1966-1971 yang bertepatan sosoknya menjadi ketua umum PB HMI selama 2 periode.
Landasan ideologi yang kerap dijadikan sebagai dasar berpikir bagi kader HMI kemudian dikenal dengan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan buah pikiran yang spektakuler dari sosok Nurcholis Madjid atau sapaan akrabnya Cak Nur.
Dapat dilihat dari penjabaran dua tokoh di atas merupakan bentuk afirmasi bahwa HMI lahir dari legitimasi kualitas generasi yang tercermin melalui pengejawantahan pengetahuannya. Sosok yang juga banyak memberikan insipirasi, yaitu Munir sosok aktivis yang senantiasa bergerak di barisan rakyat yang tertindas.
Perjuangan Munir merupakan manifestasi dari perjuangan Islam yang ia pelajari, seperti kutipan yang ia pernah nyatakan “setelah saya pelajari, saya menemukan Islam dan mengakui bahwa dalam relasi sosial ada ketidakadilan. Ada yang menzalimi dan yang dizalimi. Islam harus memihak pada yang dizalimi” kata Munir.
Setidaknya tiga tokoh besar yang disebutkan di atas dapat dijadikan sebagai landansan untuk stand point dan analisis dari tema tulisan ini dengan meninjau pengaruh yang lebih besar dari ketiga tokoh tersebut.
Sepenggal mukaddimah di atas apakah hanya bisa dijadikan sebagai sebuah kebanggaan masalalu atau hanya sepenggal pegangan untuk tetap berbahagia menjadi generasi HMI yang sekarang? Jika kader HMI pada saat ini hanya menggap seluruh sejarah HMI sekedar dijadikan kebanggan masa lalu, maka seluruh proses dan tujuan HMI yang selama ini masih bertahan merupakan realitas yang semu.
Dengan merujuk pada realitas historis HMI pada masa lampau, ia mampu berkontribusi untuk peradaban bangsa dan negara, khususnya dalam ranah pengembangan sumber daya manusia dan pokok pemikiran ke-Indonesiaan.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apa yang dilakukan HMI masa kini dengan kadernya yang tersebar dimana-dimana? Dapat dikatakan dimanapun kita memalingkan wajah, di situ ada kader HMI. Bukan tanpa sebab, lebih dari 200 cabang HMI se-Indonesia telah berdiri kokoh dari Sabang sampai Merauke dengan terus melakukan perekrutan kaderisasi.
Kaderisasi HMI yang sifatnya kontinu memiliki value untuk dijalankan secara sistemik (baca: pedoman perkaderan). Tujuannya tidak lain untuk tetap melanggengkan kualitas insan cita yang dibangun secara paradigmatik dan kritis.
Dalam arti lain, kaderisasi HMI semestinya dibentuk secara konsitensi dengan landasan jelas yang secara gamblang dijelaskan dalam pedoman perkaderan, walaupun pedoman itu belum cukup representatif secara ideologis untuk diterapkan keseluruh cabang HMI di Indonesia.
Konsekuensi logis dari penerapan kaderisasi yang terjaga nilainya adalah terbentuknya regenerasi gemilang secara intelektual. Karena acapkali khazanah intelektual memberikan partisipasi aktif dan masif untuk sebuah perubahan yang diinginkan. Memungkinkan ini sebagai titik awal dari hadirnya tokoh-tokoh bangsa yang tergambar sebelumnya, yaitu lahir dari rahim kualitas kaderisasi HMI.
Setidaknya ini menjadi penilaian bahwa kader HMI bukan lagi anak kecil yang diceritakan dongeng untuk diantar dan tenangkan tidurnya. Dapat dikatakan bahwa kualitas dari kaderisasi HMI merupakan cerminan masa depan HMI.
Akan tetapi tidak sedikit gambaran aktual yang terlihat kalau segelintir kader HMI hanya memanfaatkan organisasi ini sebagai jembatan untuk meniti karir politik. Bahkan jenjang kaderisasi hanya dijadikan sebagai bentuk legitimasi untuk mendapatkan jabatan strategis di struktural HMI.
Dan tujuan lainnya adalah taklid buta bagi ketertiban kanda-dinda, ini merupakan pengetahuan umum yang dikhususkan. Arkiran, fenomena ini mengafirmasi dan menandakan bahwa jelasnya pengkhiatan sejarah HMI dari kader HMI sendiri. “Sejarah yang panjang saja dapat dikhianati, apalagi tujuan HMI. Yang benar aja, rugi dong”.
Dengan umur 77 tahun, semestinya terbentuknya pikiran yang reflektif bagi seluruh kader HMI. Refleksi yang teraktualisasi untuk mereposisi kualitas regenarasi melalui sistem kaderisasi. Sehingga seluruh prahara kehidupan dalam organisasi ini mampu dirumuskan secara sistemik dan terselesaikan secara paradigmatik.
Reposisi yang dimaksud bukan sesuatu yang pasif, melainkan aktif, masif dan adaptif dengan perkembangan pengetahuan dan peradaban bangsa. Memungkinkan ini menjadi syarat bagi HMI untuk menjawab tantangan zaman, khususnya dalam mencapai tujuan insan citanya.
*)Penulis merupakan Mantan Ketua Umum HMI Komisariat Ilmu Budaya Unhas Cabang Makassar Timur Periode 2022-2023