Oleh: Firmansyah Demma*
Saat ini, kader HMI Se-Indonesia tengah melakoni suatu agenda besar yang menjadi momentum besar dimana kepemimpinan dalam tubuh HMI bertransformasi.
Bagi warga HMI, giat tersebut kita sebut dengan istilah ‘Kongres’. Yaitu sebuah forum musyawarah mufakat tertinggi yang bertujuan untuk; mengevaluasi pengurus besar, mengganti pimpinan HMI, dan sekaligus membahas hal-hal penting yang berkaitan dengan organisasi.
Perhelatan Kongres HMI ke-XXXII ini berlangsung di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Sebuah kota yang secara geografis dijuluki sebagai Bumi Khatulistiwa.
Dalam pelaksanaannya, terhitung sejak 24 November 2023 hingga saat ini, Kongres HMI diperhadapkan dengan berbagai macam isu dan dinamika. Tetapi, karena HMI adalah sekumpulan individu yang memiliki kemampuan intelektual, sehingga semua isu dan dinamika yang bermunculan dapat dilewati dengan bijaksana.
Memang, kongres HMI dari masa ke masa selalu saja menjadi magnet. Dapat menarik perhatian orang banyak. Maklum saja, HMI adalah organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia.
Perlu kita sadari secara saksama, bahwa semua dinamika yang terjadi selama prosesi kongres adalah sesuatu yang wajar-wajar saja apabila itu masih berkenaan dengan dialektika pemikiran dan sosial. Namun, ada satu hal yang tak wajar jika itu dikaitkan dengan kongres, yaitu soal politik transaksional.
Kalau perputaran uang selama kongres berkenaan dengan operasional pelaksanaan kegiatan misalnya dana kepanitiaan yang meliputi dana konsumsi, akomodasi, perlengkapan, dan lain-lain itu adalah hal yang sah-sah saja. Seperti pada umumnya, semua kegiatan yang memiliki struktur kepanitiaan pastilah memiliki pendanaan yang bersumber dari usaha panitia.
Tetapi, jika uang di dalam kongres HMI dikatakan sebagai politik transaksional antar kelompok dan atau antar kandidat, penulis adalah orang yang paling pertama menolaknya.
Sebagai kader HMI, kita semua memahami bahwa kongres adalah momentum pertarungan gagasan, pertarungan strategi kepemimpinan, sekaligus ajang refleksi dan pembenahan organisasi. Bukan pertarungan politik transaksional.
Hal itu dapat kita verifikasi kebenarannya dengan melihat semua semua figur-figur kandidat yang bermunculan. Tak ada seorang pun kandidat yang visi-misi atau program-programnya menawarkan politik transaksi uang. Ini menandakan bahwa kongres HMI tidak membenarkan hal demikian.
Oleh karena itu, sebagai kader HMI yang juga merupakan insan akademis, secara sadar dan tegas kita harus menolak segala bentuk penggiringan opini liar tentang politik transaksional di dalam kongres. Ini menjadi penting untuk kita perhatikan bersama, sebab wacana-wacana liar seperti itu tidak hanya merusak nama baik seseorang, tetapi juga akan merusak nama baik organisasi kita.
Pertanyaannya sederhana, akankah kita berterima begitu saja nama baik organisasi yang kita rawat bersama-sama dilecehkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab? Oleh penulis, tentu saja tidak!
Kita harus ingat, di tengah arus zaman, nama baik HMI hari ini tak hanya berada di ujung lidah, tetapi juga berada di ujung jemari kita masing-masing. Kalau kita saja sebagai kader HMI membiarkan diri hanyut dalam opini-opini liar oknum yang bersembunyi di balik dinding kejahatan, bagaimana dengan masyarakat?.
Maka dari itu, sebagai kader HMI yang gemar bersosialisasi baik di dunia nyata maupun di sosial media, kita harus menjadi contoh bagi semua orang. Sudah selayaknya kita memproteksi organisasi dari segala bentuk tindakan yang mengandung unsur-unsur negatif.
Bahkan, jika perlu, kita harus tegas mengecam oknum-oknum yang mencoba untuk merusak nama baik organisasi. Kalau tidak, maka organisasi ini akan kecolongan oleh stigma yang merugikan kita semua.
Seyogyanya, keresahan tentang hal-hal negatif tentang HMI yang beredar di sosial media belakangan ini tidak boleh hanya menjadi suasana kebatinan penulis saja. Tetapi juga harus menjadi keresahan kader dan alumni HMI secara kolektif.
Kalau kita membiasakan diri ikut membenarkan opini-opini negatif yang berseliweran di sosial media tentang HMI, maka kita secara tidak sadar akan mengalami keterasingan eksistensial.
Hal itu bisa saja akan terjadi, karena pada posisi keterangan eksistensial alam bawah sadar kita akan mengalami tekanan dari wacana tertentu yang berusaha mengendalikan kita secara represif, sehingga stigma yang terbangun di kehidupan sosial terkesan sebagai sesuatu yang alami dan benar adanya.
Dalam teori sosial, Jean Baudrillard menggambarkan hal demikian sebagai situasi ‘Hiperrealitas’. Hiperrealitas adalah tindakan dari sebuah kebiasaan yang disebut dengan istilah ‘Simulacra’ atau ‘Simulasi’.
Simulasi itu sendiri merupakan sebuah upaya yang bertujuan untuk menggambarkan sesuatu melalui sekumpulan imajinasi dan atau bahkan hasil karangan. Proses simulasi akan membawa seseorang untuk mengafirmasi sebuah ruang realitas yang dirasa nyata padahal ruang realitas itu sesungguhnya hanyalah citra dan khayalan semu semata.
Persis apa yang dialami HMI di masa-masa kongres hari ini, wacana-wacana yang tersebar di sosial media tentang politik uang adalah sesuatu yang berangkat dari imajinasi atau khayalan saja. Yang tidak nyata secara objektif.
Oleh karenanya, sekali lagi, penulis mengajak seluruh kader HMI se-Indonesia untuk bersama-sama menolak dan mengecam penyebar hoax atau opini negatif tentang politik transaksional di dalam kongres HMI.
*Penulis merupakan kader HMI.