ACEH, EjaToday.com | Publik Aceh saat ini tengah menyoroti hasil survei yang dirilis oleh Bravo Fanta Institute (BFI), yang menunjukkan lonjakan elektabilitas calon gubernur Bustami Hamzah.
Dalam survei tersebut, Bustami disebut meraih dukungan hingga 52,08%, melampaui pesaing utamanya, Muzakir Manaf, yang hanya memperoleh 41,25%. Namun, hasil survei ini langsung memicu kecurigaan publik, mengingat latar belakang Bustami yang terjerat dugaan kasus korupsi serta kredibilitas BFI sebagai lembaga survei yang tidak dikenal.
Di tengah kontestasi politik yang semakin panas menjelang Pilgub Aceh 2024, banyak pihak mempertanyakan keabsahan hasil survei yang dirilis oleh BFI.
Publik menilai bahwa angka yang dirilis tampak tidak masuk akal, terutama karena survei sebelumnya dari lembaga survei kredibel seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan elektabilitas Bustami hanya berada di angka 13,2%. Dalam waktu yang relatif singkat, elektabilitas Bustami melonjak tajam menjadi 52,08%, dan hal ini dianggap sangat mencurigakan.
Salah satu alasan utama publik meragukan hasil survei ini adalah rekam jejak BFI yang tidak dikenal dalam dunia survei politik nasional. BFI tidak memiliki rekam jejak jelas seperti lembaga-lembaga survei terkemuka lainnya, seperti LSI, Charta Politika, atau Indikator Politik.
Pencarian informasi mengenai BFI di internet tidak memberikan hasil yang meyakinkan terkait kantor, pendiri, atau metodologi yang digunakan dalam survei tersebut.
Hal ini membuat publik semakin curiga bahwa survei ini adalah upaya untuk memanipulasi persepsi publik demi keuntungan salah satu calon. Publik juga menyoroti dugaan keterlibatan Bustami dalam kasus korupsi, yang menambah alasan untuk meragukan keabsahan lonjakan elektabilitasnya.
Bustami sebelumnya terlibat dalam dugaan korupsi proyek pengadaan wastafel di Aceh, yang menimbulkan kerugian negara. Kasus ini menjadi sorotan masyarakat dan media lokal, sehingga sangat aneh jika dalam situasi tersebut elektabilitas Bustami justru meningkat secara drastis.
Publik khawatir survei ini sengaja dirilis untuk mengalihkan perhatian dari kasus korupsi yang tengah membayangi Bustami.
“Survei ini bisa jadi adalah bentuk propaganda politik untuk menaikkan popularitas Bustami di tengah situasi yang sulit,” kata seorang warga Aceh yang menolak disebutkan namanya.
Ia juga menambahkan bahwa survei abal-abal seperti ini sangat berbahaya karena bisa menyesatkan pemilih yang kurang kritis dalam menyaring informasi.
Di sisi lain, kredibilitas lembaga survei sangat penting dalam proses demokrasi, karena hasil survei sering kali menjadi acuan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Jika hasil survei tidak akurat atau sengaja dimanipulasi, hal ini dapat merusak integritas pemilu dan mengarah pada keputusan yang salah dari masyarakat.
“Pemilih harus kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh hasil survei yang tidak jelas asal-usulnya. Survei adalah alat penting untuk mengukur dukungan publik, tetapi harus dilakukan dengan metode yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan,” ungkap Miftah Alamsyah pengamat politik Aceh.
Dengan Pilgub Aceh yang semakin dekat, publik diharapkan lebih cermat dalam menyaring informasi, terutama yang berkaitan dengan elektabilitas calon. Survei yang tidak kredibel seharusnya tidak dijadikan patokan utama dalam memilih pemimpin. Masyarakat Aceh diharapkan fokus pada rekam jejak, integritas, dan visi misi kandidat, daripada bergantung pada angka-angka survei yang bisa saja dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Pada akhirnya, Pilkada Aceh harus berlangsung secara adil, terbuka, dan bebas dari manipulasi, demi kemajuan Aceh yang bersih dari korupsi. Masyarakat Aceh memiliki peran penting dalam menjaga integritas demokrasi dengan membuat pilihan berdasarkan fakta yang objektif, bukan propaganda. (EjaToday.com/*)