Kritik Masyarakat dan Kompolnas: Polri Harus Berbenah Atasi Stigma ‘No Viral No Justice’

Jakarta, EjaToday.com – Akhir tahun 2024, institusi Polri kembali menjadi sorotan publik. Stigma lama “No Viral No Justice” kembali mencuat, memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Kepolisian (Kompolnas), DPR RI, dan masyarakat sipil.

Isu ini menyoroti pola kerja Polri yang cenderung merespons aduan masyarakat hanya setelah kasus tersebut viral di media sosial.

Penasihat ahli Kapolri, Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi, mengakui bahwa tabiat Polri untuk bergerak hanya setelah kasus menjadi perhatian publik sudah lama terjadi. Menurutnya, pola ini bukanlah fenomena baru, namun kini semakin sering menjadi perhatian karena berkembangnya media sosial yang cepat menyebarkan informasi.

“Ini adalah masalah sistemik yang sudah ada sejak lama. Polri harus mulai berbenah agar tidak terus-menerus mendapatkan stigma ini,” ujarnya.

Senada dengan Aryanto, Anggota Komisi III DPR RI, Irjen Pol (Purn) Rikwanto, menyebutkan bahwa pola “No Viral No Justice” adalah penyakit lama Polri.

Ia menilai, kondisi ini mencerminkan kelemahan sistemik dalam penegakan hukum yang membutuhkan reformasi mendalam.

“Jika harus menunjuk siapa yang salah, maka jawabannya adalah banyak yang perlu diubah dalam struktur dan budaya kerja Polri,” kata Rikwanto.

Komisioner Kompolnas, Yusuf Warsyim, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap fenomena ini. Berdasarkan data Kompolnas, pola kerja “No Viral No Justice” telah menjadi kecenderungan yang mengakar dalam sistem hukum Polri.

Yusuf menyebutkan bahwa Polri harus segera berbenah untuk menghilangkan stigma ini.

“Kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak boleh dirusak oleh pola kerja seperti ini. Polri harus mengedepankan responsifitas dan profesionalisme dalam menangani aduan,” tegasnya.

Tak hanya itu, kritik juga datang dari Jaringan Aktivis Nusantara (JAN). Direktur JAN, Romadhon, menyebutkan bahwa meskipun survei menunjukkan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap Polri, pola kerja seperti ini menjadi ancaman serius terhadap reputasi lembaga tersebut.

“Polri harus berhenti hanya bertindak setelah viral. Masalah ini sudah lama, dan masyarakat sudah muak dengan pola yang sama setiap tahunnya,” ujar Romadhon, Rabu (18/12/2024).

JAN menilai bahwa isu ini tidak hanya merusak citra Polri, tetapi juga membahayakan prinsip keadilan dalam sistem hukum di Indonesia.

“Ketika masyarakat merasa hanya dengan membuat kasus mereka viral baru mendapat perhatian, itu menunjukkan ada kegagalan besar dalam sistem hukum kita,” tambahnya.

Kritik-kritik ini muncul bersamaan dengan data survei yang menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang meningkat. Namun, JAN mengingatkan bahwa pujian tersebut tidak boleh membuat Polri berpuas diri.

“Jangan sampai pujian membuat Polri terlena. Reformasi harus terus berjalan. Masyarakat membutuhkan Polri yang sigap dan proaktif, bukan yang menunggu tekanan publik untuk bertindak,” kata Romadhon.

Sebagai langkah perbaikan, Kompolnas, DPR RI, dan berbagai organisasi masyarakat mendesak Polri untuk melakukan evaluasi internal menyeluruh. Polri harus mengidentifikasi akar masalah yang menyebabkan pola kerja ini terus berulang, serta memastikan bahwa setiap laporan masyarakat diproses dengan cepat tanpa memandang besar kecilnya kasus atau eksposur media.

Dengan beragam kritik yang terus berdatangan, akhir tahun 2024 menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan reformasi signifikan. Masyarakat berharap Polri mampu menghapus stigma “No Viral No Justice” dan membuktikan bahwa mereka adalah penegak hukum yang benar-benar adil dan profesional. (EjaToday.com/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *