Bahaudin Mudhary, Kiai Modernis yang Filosof

Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur yang Hafal Lima Bahasa Asing

Kiai Haji Bahaudin Mudhary, salah satu dari 50 rokok Muhammadiyah Jawa Timur.

EjaToday.com –  Kiai Haji Bahaudin Mudhary, lahir di Jagatimba, Kepanjen, Sumenep pada Jumat 23 April 1920. K.H. Bahaudin Mudhary ini merupakan putra keenam dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Ahmad Sufhansa Mudhary dan Siti Aisyah.

Kisah K.H. Bahaudin Mudhary ini memiliki kemiripan dengan ritme trailer Sang pencerah. Kisah perjalanannya mencerminkan Kiai Muhammadiyah yang modern, cerdas, tegas dan menembus batas peradaban.

Diketahui, nenek moyang K.H. Bahaudin Mudhary dahulu sebagai penghulu Keraton Sumenep dan rumahnya bersebelahan dengan Tamansari Keraton Sumenep.

K.H. Ahmad Sufhansa Mudhary yang hidup di pertengahan abad ke-20 itu cukup jeli dalam membaca tanda-tanda zaman. Putranya yang telah didiknya dengan ilmu agama tidak dikirimnya ke pesantren sebagaimana umumnya orang Madura pada 1930-an.

Bahauddin justru dikirim ke Yogyakarta untuk belajar di Kweekschool Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah). Dengan harapan bahauddin dapat bergaul dengan putra-putri dari berbagai pelosok Indonesia sehingga nantinya dia lebih bisa merasa menjadi orang Indonesia daripada menjadi orang Madura.

Mengajar di Madrasah dan Mengajar Musik

Usai menamatkan pendidikannya di Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1940, kemudian mengajar di Madrasah Pasian (pesisir Utara Madura) Pamekasan, berbatasan dengan pasongsongan Sumenep.

Masa muda kiai Baha, begitu dia disapa, terbilang modern. Dia mengajar musik kepada teman-teman Tionghoa dengan memungut biaya Rp1 (satu rupiah uang Belanda) tiap orang.

Sabet Penghargaan sebagai Juri dan Menguasai Lima Bahasa Asing

Kiai Baha memang punya ijazah musik dan pernah mendapat penghargaan sebagai juri dari mantan Menteri Penerangan RI, Maladi, dalam rangka pemilihan bintang radio.

Selain pandai bermusik, kiai Baha juga menguasai 5 bahasa asing. Dengan keahlian ini kemudian dia mengajar kursus bahasa Arab, Inggris, Jerman Prancis dan Belanda.

Dia juga menyewakan buku-buku bibliotek (perpustakaan) dengan sewa setiap orang Rp2000 per minggu. Sedang setiap malam Rabu, kiai Baha mengadakan kursus ilmu Nahwu Sharaf dan setiap malam minggu dia mengadakan tukar pikiran menyangkut soal-soal keagamaan.

K.H. Bahaudin Mudhary Anak Jenius

Bahauddin muda ternyata memang anak jenius, meskipun dia telah menamatkan sekolah yang setingkat sekolah menengah, ternyata dia punya semangat otodidak yang tinggi.

Dia senang membaca dan mempelajari berbagai macam ilmu. Ia merasa tergoda oleh peribahasa Madura yang berbunyi tera’ ta’ a temar, yang artinya terang tanpa lampu. Dalam penjelasan orang-orang tua, peribahasa itu bisa bermakna pandai tanpa guru.

Bahaudin muda berkeyakinan bahwa semua ilmu itu berasal dari Sang Pencipta, Allah Rabbul Alamin. Jadi kalau seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang dibenarkan Allah akan mudah meminta sesuatu kepada-Nya, termasuk meminta ilmu. Dari sini dia berkhidmat kepada Allah dengan ibadah salat karena salat itu merupakan tiang agama.

Di yakin dengan pencerahan rohani melalui ibadah akan membuat otak dan hati akan bersih dari kotoran sawang dan debu, sehingga mudah untuk menangkap lambang-lambang dan isyarat-isyarat zaman yang diperlihatkan Allah, yang kesemuanya itu bisa tersusun menjadi ilmu.

Menjaga Keseimbangan Intuisi

Meskipun kiai Haji Bahaudin Mudhary banyak menyerap pemikiran rasional Barat, tetapi dalam hal-hal tertentu dia juga memberi porsi yang seimbang kepada intuisi untuk berkembang menghayati hidup bersama para santrinya. Bahkan kyai sangat terampil memahami alat-alat musik modern seperti biola dan piano, juga alat musik tradisional seperti terbang untuk mengiringi berbagai lagu qasidah dimainkannya dengan baik.

Dari kehidupan yang menjaga keseimbangan rasio dan rasa (intuisi) seperti itu, kiai Baha dapat mengajarkan Islam yang bisa diterima dengan totalitas akal dan perasaan santri-santrinya. Islam yang dihidupkan kiai tidak terjebak oleh pemahaman formalistik yang hanya mementingkan kulit dan lahir saja.

Lebih dari itu, pemahaman dan penghayatan yang mengacu pada pencarian hakikat agama dianggap tidak kalah pentingnya, agar agama yang dipeluk bisa memberi dorongan kepada laju peradaban.

Sibuk untuk Kepentingan Masyarakat

Barangkali yang terpatri bila mengenang kiai Baha adalah aktivitasnya. Hidupnya selalu penuh kesibukan yang kesemuanya nyaris hanya untuk kepentingan masyarakat.

Pagi hari sesudah melaksanakan salat dhuha dia mengajar, di siang hari menerima tamu-tamu yang membawa berbagai persoalan untuk dibantu pemecahannya.

Sejenak setelah makan siang dan bercengkrama dengan putra-putrinya, dia istirahat siang. Sore hari baru tidak ada tamu atau kegiatan di luar, dia mengarang buku.

Habis maghrib, tamu pun harus kembali dihadapi. Itu pun jika tak benturan dengan mengisi ceramah pada acara-acara tertentu atau acara keagamaan dan organisasi yang dia pimpin.

Tengah malam dia melaksanakan salat tahajud bersama para santrinya. Barulah sehabis salat tahajud, dia menikmati makan malam.

Sehabis makan, biasanya dia tidak lantas pergi tidur, tapi menyempatkan diri memainkan biola, akordion atau piano. Di keheningan malam suara alat musik tersebut sangat indah dan syahdu terdengar, dan getaran gitarnya merambah menyentuh hati.

Kadang dia mengambil gitar, petikan gitarnya mengiringi lagu kesayangannya, di antaranya ‘South of the Bourder’, ‘Goodbye Hawaii’ atau ‘La Paloma’. Dalam larutnya malam, dia rileks setelah seharian tenggelam dalam aktivitas yang seakan tidak berujung.

Mengajar Bahasa Asing

Dia mengajar bahasa Jerman, Prancis dan Belanda di SMA Adirasa, SMA Negeri dan SMA pesantren miliknya. Bila Dia memberi ulangan-ulangan kepada murid-muridnya, istrinya (Hj. Siti Kartini – Ketua Cabang Aisyiyah Sumenep tahun 1959-1963) yang mengoreksi ulangan tersebut.

Bila akan mengajar, dia selalu dijemput dan diantar salah seorang muridnya dengan sepeda motor. Padahal, guru-guru yang lain tidak diperlakukan demikian. Ini mungkin karena kedekatan dia dengan muridnya.

Salah seorang muridnya yang setia menjemputnya adalah Oei Tek Joey, WNI keturunan, dan sampai kini masih tetap menjalin hubungan silaturahim dengan putra-putri dia.

Mencipta Lagu Mars SMAN Sumenep

Selain itu, dia juga senang mencipta lagu. Diantara lagu ciptanya adalah mars SMA Negeri Sumenep, yang hingga sekarang tetap dilestarikan oleh SMA tersebut. Buku catatan lagu-lagu dia masih tersimpan dengan baik, walaupun sudah lapuk dimakan usia. Partitur tersebut ditulis tangan, sangat rapi meski ditulis dengan stalpen.

Gitu juga catatan-catatan ceramah dia, misalnya bila mengisi acara di RRI Sumenep ditulisnya dengan rapi dan sistematis. Isi ceramahnya juga tidak membikin polemik, dan umumnya adalah menggugah hati untuk selalu berusaha dekat dengan Sang Maha Kuasa dan mempelajari tanda-tanda penciptaan Allah SWT dengan terus meningkatkan ilmu dan wawasan kita. Tentu saja kadangkala diselingi humor di sana-sini, karena sebetulnya dia juga humoris dengan petuah yang penuh warna ‘paringan’ (‘sasemmon’, Madura).

Membuat Komik untuk Putra-putrinya 

Ada lagi keunikan dia sebagai perhatiannya kepada putra-putrinya pada waktu kecil. Menyadari dirinya sibuk, tapi selalu ingin dekat dengan putra-putrinya, ada sesuatu yang dia lakukan sebelum berangkat mengajar. Setiap pagi, dia menggambar, lebih tepatnya membikin komik di selembar kertas. Ceritanya tentang putra-putrinya sendiri. Setiap pagi, begitu bangun tidur otomatis putra-putrinya masuk ke kamar ayahnya untuk membaca komik yang telah tersedia di meja tulis.

Masjid sebagai Pusat Peradaban

Keseharian seorang ayah yang memiliki gaya mirip orang Eropa itu tak lantas menghilangkan kharismanya sebagai kiai. Keberhasilannya menyejukkan diri dan keluarganya juga ditebar untuk umat. Kiai Baha benar-benar memfungsikan masjid sebagai pusat peradaban. Mungkin kurang tepat menyebutnya masjid karena bangunannya tidak begitu besar. Orang biasa menyebutnya ‘langgar’, namun aktivitasnya tetap saja seperti masjid.

Selain sebagai sarana ibadah, juga sebagai tempat belajar murid-murid kiai baha yang mau ujian sekalian ikut salat tahajud berjamaah dengan dia. Belajar Islam Indonesia (PII) juga sering menggelar kegiatannya di masjid ini. Kuliah maghrib, training leadership, diskusi dan sebagainya, dan tentunya dia sangat mendukung kegiatan remaja ini.

Di bulan Ramadan, masjid pesantren Sumenep selalu penuh dengan jamaah. Salat tarawih ditegakkan dengan 11 rakaat (4, 4, 3) sedangkan pada saat itu di masyarakat masih kental berlaku 21 rakaat. Walau demikian karena selain bacaan surat dari imamnya panjang-panjang, juga setelah tarawih, diberikan santapan rohani yang dilanjutkan dengan tanya jawab. Imam, penceramah, mu’azzin dibawakan secara bergilir oleh dia dan santri-santrinya.

Shalat Idul Fitri/Idul Adha di Lapangan Pertama Kali dengan Melibatkan Perempuan 

Apabila dia menjadi imam, berbagai macam tanggapan jamaah. Ada yang agak mengeluh karena ayat-ayat yang dia bawakan panjang-panjang, tapi ada yang senang, biarpun ayatnya panjang tapi suara dan lagunya membikin kita terbawa dalam suasana khusyuk. Bila yang dibawakan ayat mengenai keindahan dan kemegahan surga, suaranya kadang pelan dan menyentuh, namun bila yang dibawakan ayat tentang keganasan neraka, suara dia beritonasi tinggi dan cepat.

Dulu, penampilan seorang kiai (apalagi di Madura) adalah memakai sorban, bersarung dan berjubah. Namun dia jauh dari penampilan tersebut (berpakaian umumnya orang kebanyakan) dan ditambah lagi dengan kemampuannya yang ‘nyeleneh’ tidak aneh bila menimbulkan gejolak sinus dalam masyarakat. Belum lagi keberanian dia dalam pembaharuan menembus tradisi, misalnya melaksanakan salat idul fitri atau idul Adha di lapangan yang pertama kalinya di Kabupaten Sumenep, yang melibatkan kaum perempuan. Semua kecaman dan sindiran dihadapi tanpa kekerasan, tapi dengan keluwesan, demi pembenaran dan pengertian wawasan Islam.

Pastor Masuk Islam Usai Berdialog dengan Kiai Bahaudin

Tulisan-tulisan kiai Bahauddin (Setetes Rahasia Alam Tuhan, Setetes Rahasia Ibadah, dan Daya Nalar Budi) tentang rahasia metafisika telah memberikan sumbangan besar bagi Islam. Awak untuk meyakinkan kaum ilmuwan yang barangkali tidak memiliki iman akan dapat menemukan titik temu antara sains dengan agama.

Kiai Bahauddin merupakan salah satu kiai langka yang pemikiran intelektualnya dapat dijadikan suatu kajian kontekstual. Pada tulisannya yang lain, iya sangat paham tentang kristologi, sehingga pada 1970-an pernah menggegerkan Madura, karena dialognya dengan pastor yang kemudian masuk Islam. Buku tulisan dia tentang kristologi adalah dialog masalah ketuhanan Yesus (jilid 1), dan dialog masalah kebenaran Bibel (jilid 2).

Berbagai Jabatan Diemban dan Pendiri Akademi Metafisika

Dalam kancah organisasi Muhammadiyah, Baha tercatat sebagai ketua Muhammadiyah cabang Sumenep periode 1954-1963. Selain itu dia juga tercatat sebagai salah satu anggota Pimpinan Pusat Majelis Tarjih Muhammadiyah periode 1959-1963, serta Ketua IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur 1975-1979. Kepala SMA Yayasan Pesantren Sumenep dan dosen IKIP Negeri, ini juga pernah mendirikan akademi metafisika.

Selain mengasuh Pesantren Kepanjen Sumenep, juga menjabat kepala departemen Agama Kabupaten Sumenep 1975-1977, sebagai Ketua Umum Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) Jawa Timur 1971-1979. Selain itu, selama 41 tahun, 1938-1979, K.H. Baha juga dipercaya sebagai Ketua Perikatan Muslim Tionghoa Sumenep (Perimutis) yang didirikan pada 19 Maret 1938.

Kiprah Perjuangan dan Perpolitikan Nasional 

Sementara dalam ranah perjuangan nasional, Bahauddin pada tahun 1947 dipercaya sebagai komandan Resimen Hizbullah Sumenep 1947-1949. Sebelumnya, tercatat sebagai Ketua Badan Pembantu Kesejahteraan Keluarga Prajurit PETA (BPKKPP) Sumenep sejak tahun 1942-1945. Sementara dalam ranah perpolitikan nasional, dedikasinya dipertaruhkan dengan menjadi Ketua Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) Sumenep sejak 1954 hingga partai ini dipaksa bubar oleh penguasa Orde Lama pada 1960.

Kemudian ketika elemen Muhammadiyah x Masyumi mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Baha bola yang dipercaya sebagai ketuanya untuk Kabupaten Sumenep (1968-1971). Dalam ranah ini pulalah, Dia pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur pada tahun 1975-1977.

Penghargaan dari Kementerian Pertahanan RI 

Berkat jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan RI, mendapat surat penghargaan dari Kementerian Pertahanan RI yang ditandatangani oleh Mayor Soebidjono pada 1954. Walaupun demikian dia tidak bersedia menjadi anggota veteran, karena perjuangannya itu bukanlah untuk mencari imbalan jasa.

Wafat pada 4 Desember 1979

Kiai Bahaudin Mudhary, baru pulang ke Rahmatullah, Selasa 4 Desember 1979 di Surabaya dan dimakamkan di pemakaman keluarga Jeruk Purut Pamolokan Sumenep.

Tiga Kali Menikah, Dikaruniai 12 Putra dan Putri

Selama hidup, K.H. Bahaudin Mudhary pernah menikah sebanyak tiga kali dan dikaruniai 12 putra dan putri. Dari pernikahan dengan istri pertama; Hj. Siti Kartini, yang juga Ketua Aisyiyah Sumenep 1959-1969, pasangan ini dikaruniai 7 putra-putri: Hj. Azizah Daulati, H. Ariskul Fikri, Hj. Asfi Raihani, H. Asrori Hermani, Hj. Anwaril Qomari, Afnani Hawari, dan Ahsani Taqwim.

Kemudian dari pernikahan dengan istri kedua; Hj. Hasaniah, dikaruniai 3 putra-putri: Ali Fikri, Hj. Asri Nafiri, dan Hj. Aini Izzati.

Sementara dari pernikahannya dengan istri ketiga; Hj. Kutsiah, dikaruniai 2 putra-putri: Hj. Autari Asnawati dan H. Achsanul Qosasi, salah satu tokoh Partai Demokrat yang menjadi anggota DPR RI 2009-2014.

sumber: Buku kedua serial “Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur” cetakan I pada 2011.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *