Oleh: Disda Hendri Yosuki*
Semua berawal dari suatu keputusan seorang pemimpin yang memutuskan untuk “menggeser lempengan.” Ia duduk di ruang kerjanya yang megah, dikelilingi oleh penasehat-penasehatnya yang setia. Wajahnya dipenuhi dengan ketidakpedulian, seolah-olah semua urusan ini hanyalah permainan kecil dalam genggaman tangannya yang kuat.
“Menggeser lempengan? Haha,” gumam pemimpin itu dengan nada merendahkan. “Pemimpin itu menggeser lempengan bumi. Ia tidak peduli dengan apa yang terjadi pada rakyatnya. Peduli apa? Mereka hanya memilihku karena uang. Kenapa harus peduli pada mereka? Aneh sekali. Lempengan itu punya saya. Hak saya. Suka-suka saya dong mau apa. Kok ya, harus diganggu-ganggu, diprotes ini itu. Aneh.”
Penasehat terdekatnya, seorang pria tua yang bijak, mencoba memberikan nasihat. “Pak, ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini masalah besar. Geseran lempengan bisa menimbulkan bencana besar bagi rakyat kita. Bangunan-bangunan bisa retak, bumi bergoncang. Kami sangat menyarankan untuk mempertimbangkan dengan serius.”
Namun, pemimpin itu hanya menganggap enteng. “Bangunan-bangunan retak. Bumi bergoncang dahsyat. Semua orang berlarian. Kelabakan. Tanpa kecuali. Pemimpin itu juga tak luput dari malapetaka yang diakibatkan dirinya sendiri. Lah, lah, kok bisa jadi begini? Saya kan cuma geser sedikit. Tapi, kok malah jadi begini? Apa saya salah ya?”
Para penasehatnya ikut nimbrung waktu pemimpin itu keluar dari rumahnya yang super megah. Tidak ada lagi orang yang berani untuk tinggal di rumah masing-masing. Salah seorang penasehat, seorang wanita cerdas yang selalu berbicara dengan hati-hati, mencoba memberikan masukan.
“Nah, sekarang sudah terbukti apa yang saya sampaikan. Kalau ada apa-apa itu, pak, harus mikir. Jangan seenaknya saja. Loh, kamu melawan saya? Saya ini pemimpin. Saya orang nomor satu di sini. Kok, kamu ngajarin saya? Kamu ini siapa? Saya bisa saja pecat kamu. Menggantung kamu atau memotong leher kamu?”
“Lah, jangan gitu dong, pak,” sahut penasehat itu dengan nada memelas. “Saya masih punya istri yang cantik, anak yang imut-imut, dan banyak tanah saya yang belum terawat. Jangan sembarangan gitu dong, pak.”
Namun, pemimpin itu hanya tertawa sinis. “Kamu ini semua hanya pekerja saya. Saya yang mengendalikan segalanya. Kalian hanya ada di sini untuk menuruti perintah saya. Jangan sok tahu. Saya yang punya kekuasaan.”
Di tengah pertengkaran yang semakin memanas, rakyat di kota merasakan getaran hebat yang membuat mereka kelabakan. Mereka berlarian, mencari tempat yang aman. Sementara itu, bangunan-bangunan mulai retak, dan debu mengaburkan pandangan. Bencana yang terjadi bukan hanya sekadar gempa bumi, tetapi dampak dari keputusan semena-mena sang pemimpin.
Dalam kekacauan itu, seorang warga yang kebetulan berada di dekat pemimpin berkomentar, “Inikah yang kamu maksud, pak? Inikah hasil dari menggeser lempengan? Apa ini semua layaknya kehendakmu yang sembarangan?”
Pemimpin itu masih bersikeras, “Ini hanya kebetulan. Tidak ada hubungannya dengan keputusan saya. Saya tidak bisa disalahkan atas alam yang tidak terkendali.”
Penasehat wanita mencoba meredakan situasi. “Pak, ini bukan kebetulan. Ini adalah konsekuensi dari tindakan kita. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada rakyat kita.”
Namun, pemimpin itu tetap keras kepala. “Saya tidak akan bertanggung jawab atas apa pun. Saya adalah pemimpin. Saya yang punya kekuasaan. Dan tidak ada yang bisa menyalahkan saya.”
Pertengkaran itu terus berlanjut, hingga suara gemuruh semakin menggema. Tiba-tiba, tanah di bawah mereka berguncang lebih hebat lagi. Bangunan-bangunan roboh, dan semua orang berlarian menyelamatkan diri. Pemimpin itu sendiri terjatuh ke tanah, kehilangan keseimbangan.
“Woi! Pak! Inikah kekuasaanmu? Inikah yang kamu inginkan?” teriak salah seorang warga sambil mencoba menolong pemimpin yang terguling.
Pemimpin itu merasa terpukul. Kekuasaannya, megahnya rumahnya, semua hancur di hadapannya. Dia merenung sejenak, tetapi kemudian kembali membangkitkan keegoisannya. “Ini hanya sementara. Saya akan membangun semuanya kembali. Kalian akan tetap membutuhkan saya.”
Namun, penasehat wanita itu menyahut, “Pak, mungkin inilah saatnya kita semua belajar dari kesalahan. Kita harus membangun sesuatu yang lebih baik, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk rakyat kita. Kita harus belajar menghormati alam dan tanggung jawab sebagai pemimpin.”
Dalam keheningan yang menyusul, pemimpin itu merenung. Mungkin, dalam penderitaan ini, ada pelajaran berharga yang harus dia ambil. Tetapi, apakah dia benar-benar mampu belajar dan tumbuh dari pengalaman ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Pemimpin yang dulu begitu arogan dan penuh keegoisan itu, kini terduduk di tengah reruntuhan yang dahsyat. Tertunduk, ia merenung dalam kesendirian, sementara penasehat-penasehatnya yang tersisa mencoba memberikan bantuan dan mengorganisir evakuasi rakyat yang terkena dampak.
“Apa yang kita lakukan sekarang, pak?” tanya salah seorang penasehat dengan nada penuh keprihatinan.
Pemimpin itu menghela nafas, matanya memandang sekeliling yang penuh dengan kehancuran. “Kita harus memulihkan kota ini. Bangun kembali segalanya.”
Penasehat wanita itu mendekatinya dengan bijak. “Tapi, pak, kita harus melakukannya dengan bijak. Kita perlu merancang ulang kebijakan, mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat. Kita harus belajar dari kesalahan kita.”
Pemimpin itu masih terlihat ragu, namun, ada kilatan keingintahuannya yang baru. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Saya pikir kita harus mendengarkan suara rakyat, memahami kebutuhan mereka, dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan,” jawab penasehat wanita itu. “Kita tidak bisa lagi bersikap semena-mena. Ini waktunya untuk berubah.”
Pemimpin itu merenung sejenak, mungkin meresapi kata-kata penasehatnya. Tanpa banyak bicara, mereka bergerak bersama-sama untuk mengorganisir bantuan dan pemulihan kota yang hancur. Evakuasi dilakukan dengan lebih teratur, dan para warga yang terdampak diberikan tempat penampungan sementara.
Sementara itu, di tengah-tengah puing-puing rumah yang roboh, ada kelompok kecil warga yang mulai berkumpul. Mereka membawa peralatan sederhana untuk membersihkan puing-puing dan mulai membangun tempat tinggal sementara. Semangat gotong royong mulai muncul di antara mereka, dan suara lagu dari generasi muda menggema di udara.
Pemimpin yang sebelumnya begitu yakin dengan kekuasaannya, kini melihat perubahan itu dengan matanya yang terkejut. Dia menyaksikan rakyatnya bekerja bersama-sama, tanpa memandang perbedaan status sosial atau ekonomi. Mungkin, ini adalah saat yang ia butuhkan untuk melihat bahwa kekuasaan sejati bukanlah tentang mengendalikan orang lain, tetapi tentang bagaimana membimbing mereka menuju kehidupan yang lebih baik.
Beberapa hari berlalu, dan proses pemulihan kota terus berlangsung. Pemimpin dan penasehatnya terlibat langsung dalam membimbing masyarakat mereka menuju kehidupan yang lebih berkelanjutan. Mereka membangun kembali infrastruktur dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Program-program pendidikan dan pelatihan kerja diperkuat untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masyarakat.
Di tengah-tengah semua ini, pemimpin itu mulai terlibat dengan lebih mendalam. Ia belajar mendengarkan, merasakan kebutuhan rakyatnya, dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Dialog terbuka diadakan, memungkinkan rakyat untuk berbicara tentang harapan dan kekhawatiran mereka.
Suatu hari, dalam pertemuan publik yang sangat diharapkan, pemimpin itu berbicara dengan nada yang berbeda. “Saya telah belajar banyak dari kejadian ini,” ujarnya, tatapannya tulus. “Saya menyadari bahwa kekuasaan sejati tidak hanya terletak pada tindakan individu, tetapi dalam keberdayaan bersama. Kita semua harus berpartisipasi dalam membangun masa depan kita.”
Rakyat yang awalnya skeptis mulai meresapi perubahan dalam pemimpin mereka. Tindakan dan kata-kata yang diucapkan bukan lagi sekadar retorika kosong, melainkan niat sungguh-sungguh untuk membangun komunitas yang lebih baik.
Dalam beberapa bulan, kota itu pulih lebih baik daripada sebelumnya. Keberlanjutan dan keadilan menjadi landasan pembangunan. Pemimpin yang dahulu begitu arogan dan tertutup pikiran, kini menjadi figur yang mendengarkan dan bekerja bersama rakyatnya.
Dan begitulah kota itu menjadi cerita tentang perubahan. Tentang bagaimana keputusan seorang pemimpin yang awalnya semena-mena dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua. Bukan hanya soal kekuasaan, tetapi tentang bagaimana kekuasaan itu harus digunakan untuk kebaikan bersama.
*) Penulis merupakan Pimpinan Redaksi sinergipapers.com